JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak). Permohonan pengujian UU Pengadilan Pajak ini diajukan oleh PT Sainath Realindo. Pemohon mengujikan Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sidang pengucapan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIX/2021 ini digelar di MK pada Rabu (24/11/2021) secara daring.
Secara lebih jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum Mahkamah bahwa dalil Pemohon mengenai pertentangan norma menimbulkan kesewenangan-wenangan Hakim Pengadilan Pajak dan tidak mencerminkan kepastian hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sebab, Pemohon tidak memuat penjelasan mengenai kriteria kesamaan dan perbedaan antara gugatan yang sudah dicabut dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali, khususnya berkaitan dengan implementasi asas nebis in idem.
Menurut Mahkamah ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak merupakan suatu keadaan sebagai akibat dari pencabutan sebuah gugatan sengketa pajak. Akibatnya penggugat tidak dapat mengajukan gugatan yang sama kepada Pengadilan Pajak. dalam pengertian bahwa apabila penggugat akan mengajukan kembali gugatan sengketa pajak kepada Pengadilan Pajak, sambung Suhartoyo, maka penggugat dibebankan untuk melakukan perubahan pada gugatannya, baik pada bagian para pihak, posita, dan petitum. Sehingga, terhadap gugatan baru selanjutnya akan menjadi kewenangan hakim sepenuhnya untuk memeriksa ihwal syarat-syarat pemberlakukan asas gugatan dapat diajukan kembali ataupun asas nebis in idem tersebut.
Apabila menurut penilaian hakim gugatan baru tersebut tidak ditemukan perbedaan dengan gugatan sebelumnya, maka akan dimaknai sebagai gugatan yang tidak dapat diajukan kembali dan dapat diberlakukan asas nebis in idem. Sehingga, lanjut Suhartoyo, terhadap fakta hukum demikian relevan diberlakukan pada ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Namun demikian, Mahkamah menegaskan, jika penerapan ketentuan norma tersebut pun harus dilakukan secara hati-hati dan tetap melindungi kepentingan hukum antara penggugat dan tergugat serta menghindari tindakan kesewenang-wenangan Hakim Pengadilan Pajak dalam penerapannya. Terlebih, menurut Mahkamah hal yang fundamental adalah terwujudnya perlindungan dan jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, dalam kedudukannya sebagai penggugat, sedangkan tergugat adalah bagian dari pemerintah yang harus diberlakukan sama kedudukannya di depan hukum.
“Dengan uraian pertimbangan hukum tersebut, dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 yang tidak memuat penjelasan mengenai kriteria kesamaan dan perbedaan antara gugatan yang sudah dicabut dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali khususnya berkaitan dengan implementasi asas nebis in idem adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Suhartoyo dalam sidang yang diikuti oleh para pihak secara daring dari kediaman masing-masing.
Baca juga:
Menyoal Pemaknaan Asas Ne Bis In Idem dalam UU Pengadilan Pajak
Pada sidang sebelumnya, Eddy Christian selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan penerapan Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, norma tersebut tidak memberikan kejelasan kriteria gugatan dalam suatu perkara yang dapat dianggap sudah pernah diajukan dan tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak menyebutkan, “Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan kembali”.
Pemohon berargumen bahwa pihaknya seharusnya berhak mendapatkan hasil permohonan gugatan di Mahkamah Agung (MA) dengan amar putusan ditolak atau dikabulkan atau tidak dapat diterima dalam konteks kejelasan dan kepastian hukum. Namun nyatanya amar putusan perkaranya ditolak karena tidak memenuhi ketentuan formal. Oleh karenanya Pemohon mempertanyakan, pembeda antara gugatan (baru) yang diajukan dengan gugatan yang sebelumnya telah dicabut.
Pemohon beranggapan, penanganan perkara yang berkaitan dengan asas nebis in idem perlu dilakukan suatu kajian agar tidak terjadi pengulangan perkara yang sama di tingkat pengadilan. Sebagaimana disebutkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SE MA) Nomor 3 Tahun 2002, dalam melaksanakan pembangunan di bidang hukum, pada prinsipnya kemandirian penegak hukum mutlak dilakukan oleh hakim karena adanya kekuasaan yang begitu besar dalam wewenangnya pada dunia peradilan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.