JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan pengujian tentang keserentakan pemilihan umum, akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian sidang pengucapan Putusan Nomor 16/PUU-XIX/2021 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945, yang digelar di MK pada Rabu (24/11/2021).
“Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi.
Mahkamah berpendapat, keinginan para Pemohon untuk memisahkan pemilu anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah tertampung dalam opsi pilihan model keserentakan dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. Apabila dilihat dari pilihan model dalam putusan tersebut, model keempat dan kelima sebenarnya telah sejalan dengan keinginan para Pemohon. Setidak-tidaknya yang diinginkan para Pemohon telah tertampung dalam opsi keenam, yaitu “pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden”.
“Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut, tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dan pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, secara implisit Mahkamah akan menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pertimbangan hukum putusan.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya.
Selanjutnya, Mahkamah mempertimbangkan dalil para Pemohon bahwa pemilu lima kotak menyebabkan beban kerja petugas penyelenggara pemilu ad hoc yang sangat berat, tidak rasional dan tidak manusiawi.
Menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut sangat berkaitan dengan manajemen pemilu yang merupakan bagian dari implementasi norma. Mahkamah menilai hal tersebut berkaitan dengan teknis dan manajemen pemilu yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaran pemilu serentak. Apapun pilihan model keserentakan yang dipilih oleh pembentuk undang-undang, sangat bergantung bagaimana manajemen pemilu yang didesain oleh penyelenggara pemilu serta dukungan pembentuk undang-undang dan stakeholders terkait.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Penyelenggara Pemilu Persoalkan Beban Kerja Pemilu Serentak
Permohonan Uji Pemilu Serentak Diperbaiki
Pemerintah dan KPU Beri Keterangan Ihwal Pemilu Serentak
DPR: Pemilu Serentak Tindak Lanjut Putusan MK
Pemerintah Tidak Menghadirkan Ahli Uji Materi Pemilu Serentak
Sebagaimana diketahui, permohonan Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur. Para Pemohon melakukan pengujian Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu menyatakan, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”. Sedangkan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.”
Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang pada Pemilu 2019 bertugas sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Akhid Kurniawan adalah KPPS di TPS No. 024, Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dimas Permana Hadi adalah PPK di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Slemen, DI Yogyakarta. Heri Darmawan adalah PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Kemudian Subur Makmur adalah PPS di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (9/6/2021), Kahfi Adlan Hafiz selaku kuasa hukum Pemohon memaparkan beban kerja para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2019. Kahfi mengungkapkan, terdapat persoalan yang sangat penting dan mendasar terkait beban kerja penyelenggara pemilu.
“Beban kerja penyelenggara pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat KPPS, PPK, dan PPS yang menurut para Pemohon sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak,” kata Kahfi.
Beban yang sangat berat dan tidak rasional tersebut, jelas Kahfi, disebabkan oleh penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak dalam format lima jenis surat suara dalam waktu yang bersamaan yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Berdasarkan pengalaman Akhid Kurniawan (Pemohon I), lanjut Kahfi, tugas KPPS dalam penyelenggaraan pemilu, tidak hanya dilaksanakan pada hari H pemungutan suara saja. Petugas KPPS, sudah mulai bertugas paling tidak sejak H-3 sebelum hari pemungutan suara. Pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan mulai dari proses penerirnaan dan pengamanan logisitik pemilu, dan membangun lokasi TPS. Pada hari berikutnya, langsung secara berturut-turut menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara untuk lima jenis surat suara sekaligus.
Persoalan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon ke Mahkamah, berkaitan langsung dengan kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara Pemilu 2019. Kendati demikian, Para Pemohon bertekad akan kembali berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu di baik di level KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2024. Persoalan konstitusionalitas ini juga akan berdampak pada kepentingan yang lebih luas, khususnya terkait dengan beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc di seluruh wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, khususnya KPPS, PPK dan PPS pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara, yang punya kaitan langsung agar penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai dengan daulat rakyat, pemilu yang jujur, adil, serta beban kerja penyelenggara pemilu yang lebih rasional, layak, dan manusiawi.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.