JAKARTA, HUMAS MKRI - Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) menilai perlu adanya upaya hukum peninjauan kembali dan kasasi terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Hal ini disampaikan oleh Ketua IKAPI Oscar Sagita dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU). IKAPI hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 dan 24/PUU-XIX/2021 tersebut.
“IKAPI menyatakan perlu diberikan upaya hukum terhadap putusan PKPU dengan alasan konsekuensi hukum yang ditimbulkan adalah debitur tidak lagi dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya, tanpa persetujuan dari pengurus. Dengan konsekuensi hukum yang sangat material ini, sudah sepatutnya terbuka upaya hukum terhadap suatu putusan PKPU,” urai Oscar dalam sidang yang digelar pada Senin (22/11/2021) di Ruang Sidang Pleno tersebut.
Baca juga: Menyoal Ketiadaan Kasasi dalam Putusan Kepailitan
Selain itu, Oscar menyebut permohonan PKPU oleh kreditor terhadap debitur sarat dengan perdebatan, perselisihan, serta mengandung sengketa karena bersifat contetiosa. Maka, lanjutnya, IKAPI melihat ada potensi putusan tersebut tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, maka tidak mustahil bersifat memihak.
“Penting untuk diketahui kita semua, sejatinya upaya hukum dalam Lembaga PKPU pernah diberikan saat berlakunya faillissementsverordening atau Undang-Undang Kepailitan di zaman kolonial. Diberikannya upaya hukum terhadap suatu Putusan PKPU, sejalan dengan semangat Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap setiap penyelenggaraan peradilan. Landasan filosofisnya adalah asas controleren beslistheid. Yang berarti setiap putusan harus diawasi,” papar Oscar menanggapi Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021.
Baca juga: Tidak Terima Dinyatakan Pailit, Pemohon Gugat UU Kepailitan
Berdasar untuk Dikabulkan
Untuk itu, Oscar menegaskan permohonan Pemohon sangat berdasar untuk dikabulkan agar putusan PKPU dapat diperiksa dan diputus kembali oleh Majelis Hakim pada badan peradilan yang lebih tinggi. Sehingga jika terjadi kekeliruan atau kekhilafan atas putusan tersebut, dapat diperbaiki, sekaligus untuk menjamin kualitas putusan hakim, serta profesionalisme Lembaga peradilan melalui putusan yang memperhatikan tiga hal esensial, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Akan tetapi, Oscar menekankan upaya hukum tidak perlu diberikan kepada kreditor terhadap putusan yang berasal dari permohonan debitur karena Permohonan PKPU yang diajukan oleh debitur bertujuan untuk menawarkan suatu rencana perdamaian dalam pembayaran sebagian atau seluruh kewajibannya. “Dan pihak yang paling mengetahui keadaan keuangan dan kemampuan untuk melakukan pembayaran kepada para kreditornya adalah debitur itu sendiri,” tandas Oscar dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Pemerintah: Aturan yang Meniadakan PK dan Kasasi bagi Putusan PKPU Beri Kepastian Hukum
Tidak Berdasar
Selanjutnya, Oscar juga menanggapi Perkara Nomor 24/PUU-XIX/2021. Ia mengatakan Pemohon meminta agar sita umum dalam kepanitiaan dibatasi jika ada sita perdata, maka hal ini sangat tidak berdasar hukum dan bahkan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum kepailitan, yaitu asas pari passu serta asas prorata.
“Jika hal ini terjadi, maka proses dan lembaga kepailitan tidak akan berguna lagi karena keteraturan inventarisasi aset, keteraturan pengumpulan aset, serta keteraturan pembagian aset debitur sebagai pembayaran menjadi musnah,” terang Oscar.
Kewenangan kurator dalam melakukan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit dihubungkan dengan filosofi, serta asas sita umum dalam proses kepailitan bertujuan untuk melindungi pemenuhan kewajiban debitur kepada krediturnya secara proporsional dan maksimal. Dan karenanya, sangat berdasar hukum jika kewenangan kurator dalam sita umum dalam kepailitan tetap dipertahankan tanpa pengecualian.
Oleh karena itu, IKAPI berpendapat Perkara Nomor 24/PUU-XIX/2021 sangat berdasar hukum untuk ditolak. Karena apabila hal ini jika dikabulkan, justru akan menimbulkan kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum.
Untuk diketahui, pada sidang pendahuluan, Pemohon perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh PT. Sarana Yeoman Sembada yang diwakili oleh Sanglong alias Samad selaku Direktur Utama. Pemohon menguji norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Pemohon dijatuhkan status PKPU pada putusan perkara yang keempat yang artinya ada 3 (tiga) perkara yang sebelumnya yang pihaknya, alat buktinya sama ditolak. Tetapi pada perkara keempat pihaknya sama, alat buktinya sama, tetapi dikabulkan. Menurut Pemohon Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon merasa hak hukumnya telah dirampas dan dirugikan, dikarenakan ketentuan bunyi pasal tersebut. Padahal upaya hukum Kasasi dan PK merupakan suatu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa agar Putusan Pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun MA yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan pemeriksaan kembali kepada MA sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi Negara, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan bila terjadi atas putusan Pengadilan di tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi. Dimana kesalahan atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara, meskipun Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Sehingga Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, untuk itu dapat diajukan upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sementara perkara Nomor 24/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Calvin Bambang Hartono yang merupakan salah satu debitur bank swasta di Indonesia. Pemohon yang merupakan salah satu debitur Bank Swasta di Indonesia, yakni PT. Bank Bukopin dengan mendapatkan kredit/pinjaman dengan jaminan tanah dan bangunan yang kredit/pinjaman tersebut diikat dengan akta Perjanjian Kredit. Atas kredit/pinjaman yang diikat dengan akta Perjanjian Kredit oleh Bank Bukopin tersebut, namun adanya obyek Tanah dan Bangunan luas 538 m² dengan lima Sertifikat Hak Milik Nomor 189/Desa Panjangjiwo atas nama Tjandra Liman sebagaimana dimaksud angka 2 (dua) huruf (b) sampai saat ini belum adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas pemberian kredit/pinjaman dimaksud.
Pemohon mengatakan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan ruang kepada seseorang atau badan usaha dan badan hukum yang telah dinyatakan pailit. Padahal sebelumnya Pemohon telah melakukan upaya-upaya hukum terkait dengan perkara-perkara yang sedang dihadapi. Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa “Putusan Pernyataan Pailit Berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur” sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU UU Kepailitan dan PKPU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim