SOLO, HUMAS MKRI – Proses pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan bangsa Indonesia merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang dianut dalam konstitusi. Begitu juga halnya berlaku bagi negara-negara lain yang menganut sistem yang sama. Saat ini di seluruh negara-negara di dunia, sistem demokrasi merupakan sistem bernegara yang tidak dapat dielakkan pelaksanaannya.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam Webinar Nasional “Format Pemilu Serentak Pasca Putusan MK No. 55/2019” dan Forum Group Discussion (FGD) kerja sama MK dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK), pada Jumat (19/11/2021) malam di Solo.
“Meski suatu negara menganut sistem komunisme atau kerajaan sekalipun, nilai dan prinsip dalam sistem demokrasi sangat sulit dihindari penerapannya. Sebagai contoh, nilai transparansi dalam pengelolaan negara atau pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara maupun pengaturan fungsi dan kewenangan lembaga negara dalam konstitusi merupakan contoh nyata bahwa nilai dan prinsip demokrasi bersifat universal dan tidak dapat dielakkan penerapannya,” kata Anwar.
Namun pada sisi lain, terang Anwar, demokrasi di dunia saat ini berjalan secara anomali. Demokrasi yang semula dicita-citakan untuk kepentingan rakyat, atau sering disebut dengan istilah “dari, oleh, dan untuk rakyat” pada faktanya justru tidak berjalan demikian. Demokrasi di dunia hari ini berjalan secara elitis karena digerakkan oleh segelintir orang yang memiliki modal besar saja atau mereka yang dekat dengan pemilik modal. Hal ini secara logika dapat dimaklumi karena untuk menggerakkan roda demokrasi dibutuhkan usaha dan biaya yang tidak sedikit.
Dalam konteks yang lain, lanjut Anwar, demokrasi juga berjalan secara manipulatif karena kekuasaan itu cenderung menyenangkan dan memanjakan pemangkunya. Hal ini seperti pernah dikatakan John Emerich Edward Dalberg-Acton. Sejarawan, politisi dan juga penulis yang lahir di Inggris ini pernah menyatakan bahwa kekuasaan itu memiliki kecenderungan untuk korup, dan kekuasaan yang absolut pasti melakukan korupsi (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely). Pernyataan ini secara faktual terbukti dengan adanya penguasa yang enggan turun dari jabatannya dan melakukan tindakan koruptif ketika sedang berkuasa.
Model Pemilu Serentak
Dikatakan Anwar, perjalanan proses dan sistem demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa, cukup adaptif dalam menyikapi dinamika dan perkembangan tentang sistem demokrasi. Daya kritis masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu serentak juga menjadi bagian dari kontribusi publik terhadap pembangunan sistem demokrasi dan kepemiluan yang telah berjalan.
Sebagai contoh, Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2019 yang permohonannya diajukan perkumpulan masyarakat sipil yang concern terhadap pelaksanaan pemilu, sehingga melakukan pengujian materiil terhadap UU Pemilu. Pengujian dimaksud pada pokoknya, mempersoalkan perihal pemaknaan pemilu serentak yang konstitusional adalah pemilu serentak yang dipisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal.
Terhadap permohonan dimaksud, MK menyatakan tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak. Karena model pemilihan serentak merupakan wewenang dari pembentuk UU untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam pertimbangannya, MK memberikan opsi model pemilu serentak yang dapat dilaksanakan yaitu Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota. Model pemilu serentak dalam Putusan MK dimaksud merupakan opsi untuk menjaga keserentakkan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden.
“Mewujudkan pemilu yang berintegritas tidaklah semudah mengucapkannya. Anomali demokrasi sebagaimana telah dikemukakan di awal merupakan persoalan umum yang terjadi di berbagai negara, tidak hanya di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjaga proses demokrasi dan mencapai hasil pemilu yang diharapkan, dibutuhkan kerja sama dan sinergitas seluruh organ negara terkait penyelenggaraan pemilu seperti KPU, Bawaslu, DKPP, Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, MK, dan berbagai lembaga negara lainnya serta kalangan akademik dan mahasiswa yang berkewajiban untuk terus melakukan edukasi publik tentang pentingnya mewujudkan pemilu yang berintegritas,” urai Anwar.
Keseluruhan elemen tersebut, ujar Anwar, harus bersinergi untuk menyukseskan pemilu demi terjaganya kedaulatan rakyat. Tak kalah pentingnya, bagi para peserta pemilu hendaknya terus memahami bahwa amanah berupa jabatan yang diemban kelak sebagai pemimpin rakyat, harus dipandang sebagai jabatan yang wajib dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat kelak.
Mitra Intelektual
Kepala Biro Humas dan Protokol MK Heru Setiawan dalam sambutannya menyatakan, Webinar Nasional “Format Pemilu Serentak Pasca Putusan MK No. 55/2019” dan Forum Group Discussion (FGD) ini terselenggara atas kerja sama MK dengan APHAMK. Heru mengungkapkan, APHAMK merupakan mitra intelektual MK. Sejak lama MK bekerja sama dengan APHAMK.
“Seperti kita ketahui bersama, Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu mitra intelektual yang sejak lama menjalin hubungan kerja sama dengan MK melakukan kegiatan akademis, utamanya berkaitan dengan Hukum Acara MK,” kata Heru.
Dijelaskan Heru, MK mendorong agar Hukum Acara MK dengan segenap perkembangan dan dinamika yang terjadi mendapat pembelajaran secara lebih proporsional dalam kurikulum perguruan tinggi hukum. Hal ini perlu dilakukan, mengingat Hukum Acara MK memiliki karakteristik khas dan dalam banyak hal berbeda dengan hukum acara peradilan lainnya.
“Singkatnya, MK dan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi memiliki visi dan filosofi kerja sama yang sejalan dan linier agar Hukum Acara MK semakin dapat dipahami oleh semua pihak dan semua kalangan masyarakat, termasuk juga para dosen,” kata Heru.
Heru menegaskan, webinar nasional yang diinisiasi oleh APHAMK ini dapat dimaknai sebagai cerminan atensi APHAMK terhadap komunitas akademik, terutama untuk berkolaborasi melalui pemikiran-pemikiran akademis yang nantinya akan mengemuka dalam sesi-sesi webinar nasional ini.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.