YOGYAKARTA, HUMAS MKRI - Dua Hakim Konstitusi, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo menjadi narasumber dalam kegiatan Ceramah Konstitusi yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (19/11/2021) siang di Markas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini merupakan kerja sama MK dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dalam upaya meningkatkan kemampuan penyidik jajaran Polda Sumbar terkait perubahan KUHP dan KUHAP melalui putusan MK.
Mengawali pembahasannya, Saldi mengatakan perubahan undang-undang yang dilakukan pada 1999 sampai 2002 memberikan dampak yang luar biasa terhadap perubahan negara termasuk dalam penegakkan hukum. “Jadi dengan adanya perubahan UUD 1945 tersebut, di konstitusi menjadi semakin jelas siapa saja penegak hukum itu. Polisi menjadi salah satu institusi yang disebutkan secara eksplisit di konstitusi, “ ujar Saldi.
Selain itu, Saldi menjelaskan, sebelum UUD 1945 diubah terdapat hanya satu kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung (MA) dengan badan peradilan di bawahnya. “Dulu kita punya Mahkamah Agung, namun setelah UUD diubah kita mempunyai MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman,” jelasnya didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, MK tidak mempunyai peradilan di bawahnya, berbeda dengan MA. MK merupakan lembaga satu-satunya yang hanya ada di Ibukota.
Terhadap kewenangan MK untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sejak berdiri hingga saat ini, MK telah menerima permohonan sekitar 1.500 perkara.
Implikasi Putusan
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan kewenangan MK dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 memberikan pengaruh besar dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Berbagai putusan Mahkamah Konstitusi telah mengubah sejumlah norma hukum pidana, baik formil maupun materiil.
Suhartoyo menjelaskan, implikasi putusan MK pada norma hukum pidana yakni lahirnya norma baru yang berupa pemaknaan baru atas norma yang berkenaan dengan unsur tindak pidana, perubahan rumusan pasal, perubahan kualifikasi delik dalam suatu tindak pidana dan Tidak berlakunya suatu norma pidana. Menurutnya, putusan MK dapat berimplikasi pada perubahan norma hukum pidana khususnya rumusan tindak pidana maupun perubahan delik dalam tindak pidana termasuk tidak berlakunya suatu norma hukum pidana (dekriminalisasi).
Sumber-sumber hukum pidana tertulis di Indonesia, sambungnya, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang yang merubah/menambah KUHP, Undang-Undang hukum pidana khusus, dan aturan-aturan pidana di luar Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam Putusan MK No. 006/PUU-V/2007, sambung Suhartoyo, pasal penghinaan terhadap pemerintahan di muka umum bukan merupakan tindak pidana. Adapun Pertimbangan Mahkamah pada putusan tersebut berisi Kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan pasal a quo menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa. Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adanya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal a quo menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Ancaman pidana Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P