JAKARTA, HUMAS MKRI – Majelis Hakim Konstitusi harus memeriksa pengujian aturan mengenai masa jabatan, hakim konstitusi beserta ketua dan wakil ketua sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) secara formil. Hal ini ditegaskan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Bagir Manan yang hadir sebagai Ahli Pemohon Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang digelar pada Kamis (18/11/2021) siang.
Bagir beralasan jika Majelis Hakim Konstitusi memeriksa perkara yang diujikan para Pemohon secara materiil, maka terdapat benturan kepentingan (conflict of interest). Jika menguji secara formil, maka Majelis Hakim Konstitusi tidak memeriksa muatan norma, melainkan memeriksa kesesuaian tata cara pembentukan perundang-undangan yang dimaksud.
“Dalam pengujian formal hanya memeriksa tata cara pembentukan peraturan sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan yang mengatur tata cara pembentukannya. Karena tidak menyangkut materi muatan, tidak akan pernah ada conflict of interest dengan tugas Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian formal. Berbeda dengan pengujian materiil. Pengujian secara materiil yang memeriksa, menyelidiki, dan memutus materi muatan dapat ada conflict of interest dengan Hakim atau pengadilan,” papar Bagir dalam sidang yang juga digelar untuk Perkara 90/PUU-XVIII/2020 dan 96/PUU-XVIII/2020 tersebut.
Menurut Bagir, jika Majelis Hakim Konstitusi menguji secara formil permohonan para Pemohon, maka tidak perlu diterapkan asas nemo judex in causa sua. Dengan perkataan lain, lanjutnya, hak menguji merupakan eksekusi panel pengadilan seperti Mahkamah Konstitusi.
“Selain pertimbangan tersebut, apakah asas nemo judex in causa sua tidak dapat juga ditinjau dari asas-asas umum peraturan perundang-undangan yang baik? Kelalaian apalagi sengaja mengesampingkan asas-asas tersebut menyebabkan isi suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945," ujar Ketua Mahkamah Agung periode 2001—2008 tersebut.
Baca juga: UU MK Dianggap Tutup Kesempatan Pemohon Jadi Hakim Konstitusi
Mengikuti Aturan
Terkait dalil proses penyusunan UU MK yang tidak transparan maupun pembahasan dalam sidang tertutup, Bagir menyebut seandainya pembentuk undang-undang mengikuti tata cara yang diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut niscaya tidak perlu ada perkara yang diajukan Pemohon. Sayangnya, lanjutnya, pembentuk undang-undang lebih mengedepankan objek yang diinginkan dan kurang memperhatikan cara-cara yang sudah ditentukan dalam menyusun dan membentuk peraturan perundang-undangan.
“Dalam kaitan ini, izinkan saya mencatat Jonathan Herring dalam bukunya Legal Ethics. Menurut Jonathan Herring, salah satu sendi atau salah satu sendi ethics adalah follow the rules, ya, taat pada ketentuan, baik berupa ketentuan normatif maupun asas-asas atas pembentukan peraturan perundang- undang yang baik dan asas-asas umum kenegaraan pemerintahan yang baik. Secara sederhana, dapat diungkapkan follow the rules merupakan suatu bentuk menjunjung tinggi ethics dalam bernegara,” tandas Bagir dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Baca juga: Sejumlah Peneliti dan Dosen Uji Formil Pembentukan UU MK
Untuk diketahui, permohonan perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pemohon menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Pemohon berpandangan bahwa proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai undang-undang pelaksana dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Pemohon menilai ketentuan yang ada pada Pasal 15 ayat (2) huruf d terkait perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata. Bahkan menurut Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 sehingga pembentuk undang-undang justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum atas ketentuan norma ini.
Sementara itu, permohonan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Priyanto yang berprofesi sebagai advokat. Ia mendalilkan Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945. Menurutnya, pada norma tersebut telah mengubah persyaratan mejadi hakim konstitusi dari usia minimal 47 tahun menjadi 55 tahun dan tanpa adanya batas usia maksimal. Selain itu, pada norma ini juga termuat sedikit perubahan terkait dasar sarjana strata satu yang berlatar pendidikan bidang hukum. Sebelumnya persyaratan ini diperuntukkan baik strata satu maupun magister pun harus berlatar belakang bidang hukum. Dalam pengakuan Pemohon, dirinya bermaksud untuk menjadi hakim konstitusi mengingat dirinya memenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Namn dengan adanya perubahan UU MK ini, maksud dari Pemohon terkendala dan bahkan tidak mungkin terwujud nantinya.
Berikutnya, permohonan Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh para peneliti dan dosen. Para Pemohon yaitu R. Violla Reinida Hafidz, M. Ihsan Mualana, Rahmah Mutiara, Korneles Materay, Beni Kurnia Ilahi, Giri Ahmad Taufik, dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1). Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon mengatakan pembentuk undang-undang telah melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Menurut para Pemohon, revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over karena pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Menurut Pemohon, revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Selain itu, Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid. Sedangkan untuk pengujian materil, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul. Para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambah pula para Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Fitri Yuliana