JAKARTA(SINDO) â Sengketa audit biaya perkara antara Mahkamah Agung (MA) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tampaknya bakal panjang.
Sebab, Sekretariat Negara (Setneg) menolak draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Biaya Perkara dan mengembalikannya ke Departemen Keuangan (Depkeu).â RPP Biaya Perkara tersebut sekarang dikembalikan ke Departemen Keuangan untuk dilakukan harmonisasi kembali,âungkap Mensesneg Hatta Rajasa di Jakarta kemarin. Menurut dia, pengembalian itu karena ada satu pasal dalam RPP yang tidak mencapai titik temu antara MA dengan BPK.
âKita selesaikan tinggal satu pasal saja,kita harapkan selesai cepat.Saya mengharapkan bulan depan selesai,â ujar mantan Menteri Perhubungan (Menhub) ini. Meski demikian, Hatta menegaskan, konflik antara MA dengan BPK terkait audit biaya perkara harus tetap diselesaikan. âTidak, tidak ada konflik terus-terusan, pasti akan ada solusi karena pada akhirnya akan ada keputusan,â tandasnya.
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Depkumham Wicipto Setiadi mengatakan, proses harmonisasi RPP yang mengatur penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di MA sudah diselesaikan. Bahkan, RPP tersebut sudah masuk ke Sekretariat Negara (Setneg) untuk dibahas. âNamun, pada pembahasan itu BPK belum bisa menerima isinya. Karena itu, Setneg mengembalikan RPP itu ke Departemen Keuangan (Depkeu) untuk kembali dilakukan harmonisasi,â katanya.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tegas mengambil sikap terkait belum diselesaikannya RPP ini.âPresiden punya kewenangan untuk mengambil langkah tegas dalam masalah ini. Karena itu, sebaiknya Presiden segera mengesahkan RPP tersebut,â tegas Jimly di Gedung MK Jakarta kemarin.
Jimly yang pernah menjadi penengah konflik BPK dan MA ini mengatakan, terlepas adanya pihak-pihak yang tidak puas dengan ketegasan Presiden, hal itu tidak akan menjadi masalah jika ketegasan tersebut didasari pada kepentingan negara. Dalam pembahasan RPP tersebut, ujar dia, Presiden dimungkinkan untuk mendengarkan dari beberapa lembaga terkait.Namun, hal itu tidak menjadi kekuatan yang mengikat.
âSudah biasa ada pihak yang tidak puas. Tapi, pada akhirnya tetap Presiden yang menentukan.Karena itu,Presiden tidak perlu menunda pengesahan RPP tersebut dengan alasan belum ada kesepakatan dari para pihak yang diatur. Harus diambil sikap tegas mana yang menurut Presiden dianggap bisa menyelesaikan,âtandasnya. Diketahui sebelumnya,Ketua BPK Anwar Nasution mengancam akan melaporkanMAke polisiterkaitbelum diizinkannya BPK mengaudit biaya perkara di lembaga peradilan tersebut.
Anwar juga menyatakan, MA dinilai tidakmaumenepatijanjiyang telah dibuat dengan BPK di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu.Sebab,hingga saat ini MA belum bersedia diperiksa dan mempertanggungjawabkan pemungutan biaya perkaranya. Anwar mengungkapkan, setelah Presiden SBY turun tangan untuk memberikan jalan tengah bagi persoalan ini,Ketua MA sempat berjanji untuk melaporkan mengenai biaya perkara yang dipungut lembaganya.
Perseteruan antara MA dengan BPK terkait biaya perkara bermula pada 2006.Saat itu BPK menemukan adanya sembilan rekening atas nama MA cq Bagir Manan dalam LKPP 2005 sejumlah Rp7,45 miliar. Rekening itu terdiri atas empat rekening giro sejumlah Rp4,87 miliar dan lima rekening deposito sejumlah Rp2,58 miliar. Atas temuan ini, BPK kemudian meminta adanya audit atas biaya perkara di MA.
Namun, MA menolaknya dengan menyatakan rekening yang dipersoalkan oleh BPK itu milik MA, bukan negara, yang berasal dari setoran biaya perkara dari pihak yang beperkara. MA juga mengungkapkan, awal 2006, rekening-rekening itu tidak lagi atas nama Bagir Manan, tetapi atas nama Sekretaris MA dan Kepala Biro Keuangan MA.
Ketua Muda Pengawasan MA Djoko Sarwoko mengaku tidak ambil pusing dengan ancaman disclaimer laporan keuangan di lembaganya.Kalau BPK tetap ingin melakukan audit terhadap biaya perkara, harus dilakukan perubahan hukum acara perdata. âPeraturan pemerintah (PP) yang kemarin disepakati itu adalah penyelesaian yang paling baik karena ada benturan undang-undang mengenai biaya perkara diatur dalam hukum acara perdata yang masih berlaku sebagai hukum positif.
Jadi, kalau mau konsekuen, ubah dulu semuanya,âungkapnya. Djoko juga menjelaskan, PNBP yang akan ditentukan dalam PP mengatur biaya perkara yang tidak diambil selama enam bulan menjadi milik negara. âInilah yang nantinya akan diperiksa BPK. Kalaupun BPK tetap konsisten mengeluarkan biaya perkara dari hukum acara, itu artinya semua biaya perkara perdata harus dibiayai negara,âujarnya.
Sebab,tambah Djoko,intinya, semua pembiayaan yang dikeluarkan lembaga penyelenggara pemerintah berhak diperiksa BPK. Sementara uang perkara yang ditarik dari perkara perdata adalah uang proses yang dikembalikan untuk penyelesaian perkaranya. Jadi, harus ada dasar hukum yang jelas untuk mengatakan biaya perkara sebagai uang negara oleh BPK.
Sementara itu, anggota BPK Baharudin Aritonang mengaku tidak mengetahui substansi yang diperdebatkan antara Ketua PBK dengan MA terkait RPP Biaya Perkara. Sebab, hal itu tidak pernah menjadi kesepakatan resmi di lembaganya. âSaya tidak ikut-ikutan ribut itu.Lagian, apa yang diributkan juga tidak pernah dibahas dalam rapat di BPK,âkatanya. (rahmat sahid/ rijan irnando purba/ okezone)
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto www.google.co.id