JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber webinar nasional yang diselenggarakan oleh Bawaslu Provinsi Sumatera Utara pada Senin (15/11/2021) siang. Tema yang diangkat “Pembentukan Peradilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah”.
Saldi mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, awalnya penanganan sengketa pilkada diselesaikan oleh Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi. Namun penanganan sengketa pilkada dipindahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), demi menghindari kedekatan lokasi dengan kontestasi politik dilaksanakan, yang dikhawatirkan terjadinya intervensi terhadap proses hukum itu sendiri.
“Pemikiran itu menjadi salah satu pemikiran sentral yang membenarkan mengapa penanganan sengketa pilkada tidak dilakukan oleh pengadilan yang dekat dengan pelaku kontestasi politik di tingkat lokal,” jelas Saldi.
Satu hal yang perlu didiskusikan secara jernih, sambung Saldi, bagaimana keberadaan lembaga penyelenggara pilkada dalam hal ini Bawaslu, sudah mampu atau belum mewujudkan integritas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
“Saya terlibat dari awal, bagaimana memperjuangkan Bawaslu menjadi lembaga penyelenggara pemilu. Dulu hanya dikenal KPU saja, namun kini diperkuat oleh Bawaslu dan bahkan DKPP,” kata Saldi.
Sinergitas Belum Sepenuhnya
Hal lain yang juga berpengaruh terhadap integritas penyelenggaraan pilkada, lanjut Saldi, titik singgung kewenangan di antara lembaga-lembaga yang ada saat ini, pada kasus-kasus tertentu, sinergitas antara KPU dan Bawaslu belum terjadi sepenuhnya. Bahkan dalam berbagai kasus, kalau hal ini diselesaikan secara cepat, menurut Saldi, bukan tidak mungkin ego dari kedua lembaga ini bisa meruntuhkan integritas pilkada itu sendiri.
“Saya berharap, suatu saat diskusi mengenai peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada digelar, mungkin harus dilihat kembali oleh pembentuk undang-undang, kira-kira di sisi apa sebetulnya yang harus diperbaiki antara kewenangan KPU dan Bawaslu itu,” tegas Saldi.
Faktanya, ungkap Saldi, dari beberapa kasus sengketa pilkada di Indonesia, seringkali terjadi konflik di antara penyelenggara pemilihan—yang pada akhirnya akan bermuara ke MK. Saldi dan hakim konstitusi lainnya dalam persidangan selalu mengingatkan, harus ditentukan batas-batas yang jelas pada titik mana KPU dan Bawaslu mengambil kewenangan. Sehingga pada akhirnya tidak mengorbankan integritas dari penyelenggaraan pilkada.
“Dalam pandangan saya, di luar pemikiran soal peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada, soal lembaga-lembaga yang ada hari ini akan bisa bersinergi dengan baik mewujudkan integritas itu menjadi soal lain yang harus dipikirkan dengan serius,” ucap Saldi.
Beberapa Kasus
Selanjutnya, Saldi mencontohkan beberapa kasus terkait Bawaslu. Misalnya, ada Bawaslu di sebuah daerah melarang calon pemilih menggunakan hak pilihnya kalau hanya menggunakan rekaman KTP. Sementara Bawaslu di daerah lain memperbolehkan menggunakan rekaman KTP. Kasus lainnya yang beberapa kali terjadi, ada Bawaslu yang masih memutuskan soal-soal terkait proses pemilihan ketika sengketa sudah masuk ke wilayah penyelesaian di MK.
“Padahal batasnya jelas, garisnya jelas. Kami selalu mengatakan kalau perkara sudah didaftar di MK dan sudah memasuki tahap proses di MK, seandainya Bawaslu menemukan sesuatu yang dianggap merusak integritas pemilu itu sendiri, Bawaslu sebenarnya bisa menggunakan hasilnya itu sebagai laporan yang disampaikan di MK dan biarkan MK yang memutuskan,” tandas Saldi.
“Oleh karena itu, saya mohon ini menjadi catatan penting bagi teman-teman di Bawaslu,” tambah Saldi yang juga menerangkan bahwa pembahasan mengenai peradilan khusus pilkada sudah diamanatkan oleh undang-undang. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P