KUPANG, HUMAS MKRI – Peresmian “Pemanfaatan Smartboard Mini Courtroom” di Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (13/11/2021) siang. Kegiatan ini berlanjut dengan Kuliah Umum “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
Dalam kuliah umum tersebut, Anwar menjelaskan bahwa Hukum Acara MK sejak MK berdiri pada 2003 diatur secara umum dalam UU MK dan pengaturannya secara lebih rinci diatur dalam Peraturan MK. Ikhtiar dan pembahasan tentang pentingnya mengatur kembali Hukum Acara MK dan penempatannya dalam undang-undang tersendiri telah dilakukan beberapa kali. Namun, pembahasan tersebut tidak bermuara kepada diaturnya secara khusus Hukum Acara MK dalam suatu undang-undang tersendiri.
“Perkembangan tentang Hukum Acara MK justru terjadi melalui praktik persidangan dan putusan yang dikeluarkan oleh MK. Hal ini bahkan telah dilakukan oleh Hakim Konstitusi pada generasi awal hingga saat ini. Perkembangan tentang Hukum Acara MK melalui praktik dan putusan sesungguhnya bukan merupakan kehendak MK, melainkan untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik dan bahkan untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara,” urai Anwar.
Sebagai contoh, lanjut Anwar, pada mula MK berdiri dan diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat satu norma pasal yang melarang undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji ke MK adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 dilaksanakan (1999-2002). Ketentuan norma ini tentu berangkat dari suatu prinsip hukum bahwa hukum harus bersifat prospektif dan bukan retroaktif.
Namun, ketentuan norma ini bertentangan dengan semangat dibentuknya MK yaitu untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara dari berlakunya suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD. Padahal, keberlakuan undang-undang yang lahir sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945 tidak tertutup kemungkinan dapat pula melanggar hak konstitusional warga negara. Jika keberlakuan norma ini tetap ada, maka dalam hukum acara pengujian undang-undang (PUU), ketentuan ini menjadi syarat formil bagi Pemohon untuk melakukan pengujian undang-undang. Oleh karena itu, sejak 2004, ketentuan pasal ini telah dibatalkan oleh MK melalui Putusan Nomor 066/PUU-II/2004.
Hal lain yang cukup penting dalam proses hukum acara pengujian UU di MK, sambung Anwar, menyangkut kedudukan hukum Pemohon. Meski Pasal 51 UU MK telah diatur siapa saja pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam perkara PUU, namun perkembangan syarat konstitusional bagi Pemohon, berkembang di dalam putusan-putusan MK. Sejak 2004, MK telah mengembangkan syarat konstitusional Pemohon tersebut, sebagai terjemahan dari Pasal 51 UU MK. Setidaknya, ada tiga yurisprudensi pokok Mahkamah yang menjadi sumber rujukan bagi putusan setelahnya menyangkut syarat konstitusional bagi Pemohon, yaitu Putusan 003/PUU-I/2003, Putusan 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.
Kekuasaan Kehakiman
Lebih lanjut Anwar menyinggung mengenai kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, ujar Anwar, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung (MA). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Sedangkan mengenai kewenangan MA, ungkap Anwar, disebutkan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Kewenangan MK
Lantas bagaimana dengan kewenangan MK? Anwar menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU No. 24/2003 disebutkan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P