JAKARTA, HUMAS MKRI – Hari kedua Bimbingan Teknis (Bimtek) Hukum Acara Pengujian Undang-Undang bagi Ikatan Perancang Peraturan Perundang-undangan Indonesia (IP3I) digelar secara daring oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (10/11/2021). Pada kesempatan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memaparkan materi “Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”.
“Bicara mengenai pengujian undang-undang, pasti ada persoalan di dalamnya. Bisa aspek materiil atau substansi undang-undang maupun aspek formil atau proses dalam pembentukan undang-undang,” kata Enny.
Dua aspek tersebut menurut Enny, menjadi tugas utama dari para perancang peraturan perundang-undangan. Para perancang peraturan perundang-undangan tidak hanya bicara soal teknis, namun juga bisa mempertautkan antara materi dengan teknis, sehingga yang dilahirkan benar-benar suatu produk hukum yang baik.
“Ketika kita membentuk suatu produk peraturan perundang-undangan, mau tidak mau kita harus melihat apa yang menjadi tujuan produk hukum yang akan diwujudkan,” lanjut Enny.
Enny juga menerangkan mengenai pembangunan hukum nasional. Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 yang mencakup: pembangunan materi hukum; struktur hukum termasuk aparat hukum; sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis.
“Pembangunan hukum nasional tidak bisa dilakukan secara instan. Tetapi harus ada metode dan strategi dalam perencanaan pembangunan hukum nasional,” ujar Enny.
Lebih lanjut Enny menerangkan pengujian undang-undang di MK. Pengujian UU terbagi menjadi pengujian materiil dan formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah KOnstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021, pengujian materiil berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau perpu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pengujian formil, dalam Pasal 2 ayat (3) PMK No. 2 Tahun 2021 disebutkan, pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau perpu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau perpu.
Berikutnya, Enny menjelaskan tahap-tahap sidang pengujian undang-undang di MK. Mulai dari sidang pendahuluan, kemudian sidang perbaikan permohonan, hingga sidang terakhir yaitu sidang pengucapan putusan. Setelah sidang pedahuluan, Pemohon diberi kesempatan selama 14 (empat belas) hari untuk melakukan perbaikan sebagaimana nasehat atau saran dari panel hakim. Meskipun demikian, nasehat panel hakim tidak mengikat Pemohon. Artinya, jika Pemohon tidak mau memperbaiki permohonannya, maka permohonan yang awal yang dipakai.
Empat Kewenangan, Satu Kewajiban
Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku narasumber berikutnya, memaparkan materi “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi”. Di awal, Suhartoyo langsung menjelaskan empat kewenangan dan satu kewajiban MK yang diturunkan dari konstitusi yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu, dan terakhir kewajiban MK memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum.
“Kemudian ada kewenangan tambahan yang tidak diturunkan dari konstitusi, tapi dari undang-undang. Kewenangan itu mengadili perkara penyelesaian sengketa kepala daerah. Kewenangan ini sifatnya sementara sampai dibentuk peradilan khusus tentang pemilu,” ucap Suhartoyo.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK. Antara
lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian
konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan
sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang. Adapun yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.
Penafsiran Konstitusi
Narasumber selanjutnya adalah Kepala Bagian Humas dan Kerja sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono Soeroso yang menyajikan materi “Penafsiran Konstitusi”. Materi yang disampaikan Fajar terkait aktivitas keseharian MK dalam mengelaborasi argumentasi konstitusional dalam kerangka melakukan penafsiran terhadap konstitusi.
Bicara soal penafsiran konstitusi, ungkap Fajar, ada dua hal yang bisa didiskusikan. Pertama adalah penafsiran dan yang kedua adalah konstitusi itu sendiri. Penafsiran digunakan sebagai metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding) berdasarkan konstitusi atau UUD. Penafsiran konstitusi dilakukan untuk memahami ketentuan konstitusi. Pemahaman terhadap hukum ditempuh dengan menginterpretasikan hukum dan sebaliknya, menafsirkan hukum adalah cara memahami hukum. Hukum hanya dapat dipahami melalui penafsiran, dan penafsiran terhadap hukum tersebut akan sangat membantu pada level-level pemahaman terhadap hukum.
Lebih lanjut Fajar mengungkapkan, semua Mahkamah Konstitusi di berbagai negara memerankan diri sebagai The Sole Interpreter of The Constitution, penafsir paling aktif, paling final ketika ada sengketa mengenai tafsir konstitusi.
“Bapak dan Ibu sebagai perancang peraturan perundang-undangan boleh melakukan tafsir konstitusi. Demikian pula mahasiswa, dosen, termasuk juga DPR, Presiden boleh memberikan tafsir konstitusi. Namun ketika MK memberikan jawaban melalui putusan terhadap pengujian undang-undang, maka tafsir konstitusi MK itulah yang berlaku,” tegas Fajar.
Sebagaimana diketahui, kegiatan Bimtek Hukum Acara Pengujian Undang-Undang ini diselenggarakan oleh MK bekerja sama dengan IP3I. Bimtek dilakukan secara daring pada 9-12 November 2021.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.