JAKARTA (Suara Karya): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait biaya perkara yang selama ini menjadi perseteruan terbuka antara Mahkamah Agung (MA) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Desakan tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Rabu (16/4).
Menurut Jimly, PP tersebut diperlukan untuk menengahi perseteruan kedua lembaga negara itu, dan PP merupakan satu-satunya solusi yang dapat menyelesaikan perseteruan tersebut.
"Persoalan BPK dengan MA terkait biaya perkara solusinya adalah di Presiden. Bahwa isinya itu harus mendengar kiri ataupun kanan, itu kan suatu masukan. Tapi masukan itu sifatnya tidak mengikat bagi presiden," katanya.
Jimly menambahkan, MA merupakan lembaga yang diatur oleh undang-undang, sehingga tidak bisa memaksakan kehendaknya sendiri. Sehingga, kata dia, yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden. Sementara Peraturan Pemerintah (PP), kewenangan konstitusionalnya adalah Presiden.
"Artinya, semua lembaga harus tunduk kalau memang diatur oleg bentuk aturan yang menjadi kewenangan Presiden. Maksudnya, tidak perlu ada alasan tertundanya penetapan PP, karena belum ada kesepakatan dari pihak-pihak yang mau diatur," katanya.
Meski demikian, ia mengharapkan agar kedua lembaga itu dapat menyelesaikan persoalan tanpa harus saling berbeda pandangan, apalagi sampai terjadi perseteruan seperti yang terjadi belakangan ini.
Jimly juga mengemukakan dua opsi lain dalam menyelesaikan perkara itu, yaitu apakah persoalan itu harus diselesaikan melalui pengadilan, atau di luar pengadilan.
BPK berencana akan melaporkan MA ke polisi serta menempatkan dalam disclaimer (penilaian opini terburuk dari akuntan) terhadap laporan keuangan MA tahun 2007 karena menolak diaudit biaya perkara yang dipungut MA. Sementara MA bersikukuh jika hendak melakukan audit, maka harus diubah dahulu hukum acaranya.
Pada 13 September 2007 lalu BPK melaporkan MA ke polisi karena dinilai tidak kooperatif terhadap auditor negara yang ingin memeriksa pungutan biaya perkara 2005-2006 yang seharusnya menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), namun MA menolak diaudit.
Laporan BPK itu dengan menggunakan dasar UUD 1945 Pasal 23, UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), UU Nomor 15 Tahun 2006 dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, terutama Pasal 24 ayat 2. (Sugandi)
umber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id