JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang No. 46 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (8/11/2021). Permohonan perkara yang diregistrasi Nomor 54/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Gunawan A. Tauda dan Abdul Kadir Bubu (para Pemohon).
Sidang dilaksanakan secara daring oleh Panel Hakim dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (masing-masing sebagai anggota panel). Agenda sidang adalah pemeriksaan perbaikan permohonan.
“Karena persidangan ini akan ditayangkan di media platform medsos dan agar mencegah disinformasi di publik Maluku Utara, kami mohon kiranya pada Majelis Hakim untuk mengizinkan kami membaca hampir semua perbaikan karena perbaikan permohonan ini menyangkut hampir semua struktur permohonan,” kata Gunawan A. Tauda.
Gunawan A. Tauda menegaskan dalam perbaikan permohonan, dirinya dan Abdul Kadir Bubu adalah warga Provinsi Maluku Utara. Hal ini dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda penduduk, sekaligus berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun yang peduli terhadap Undang-Undang (UU) Pembentukan Provinsi Maluku Utara. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya terlanggar atau berpotensi terlanggar dengan keberadaan Pasal 9 ayat (1) UU Pembentukan Provinsi Maluku Utara.
Gunawan menjelaskan, UU Pembentukan Provinsi Maluku Utara diundangkan pada 4 Oktober 1999. Namun menurutnya Pemerintah tidak mampu menuntaskan permasalahan Ibukota Provinsi Maluku Utara yang berkepastian hukum, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) UU Pembentukan Provinsi Maluku Utara.
Pasal 9 ayat (1) UU Pembentukan Provinsi Maluku Utara menyatakan, “Ibukota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi.” Penjelasan Pasal 9 ayat (1), “Yang dimaksud dengan Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara pada ayat ini adalah sebagian wilayah yang berada di Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah.” Kemudian Pasal 20 ayat (2) menyatakan, “Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 tahun Ibukota Provinsi Maluku Utara yang definitif telah difungsikan.”
Ketidakmampuan pemerintah dimaksud, ungkap Gunawan, menyebabkan ketidakpastian hukum pengaturan mengenai Ibukota Provinsi Maluku Utara. Terlebih dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan Di Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan Pasal 7 UU 1/2003 dibentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Tidore Kepulauan memiliki 5 wilayah administratif yang berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Halmahera Tengah, terdiri atas Kecamatan Oba Utara dan Kecamatan Oba. Sebelumnya, Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah berkedudukan di Tidore. Dengan terbentuknya Kota Tidore Kepulauan, wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dikurangi dengan wilayah Kota Tidore Kepulauan. Pergeseran wilayah administratif dari entitas Sofifi sebagai kawasan Ibukota Provinsi Maluku Utara yang semula ditentukan berada di Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah, berdasarkan UU Pembentukan Maluku Utara, kemudian bergeser Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan berdasarkan UU 1/2003 menyebabkan adanya pertentangan atau konflik norma, sehingga pengaturan mengenai Ibukota Provinsi Maluku Utara tidak memiliki kepastian hukum.
Ibukota Imajiner
Pada konteks ini para Pemohon dan warga Maluku Utara merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya karena belum memperoleh kepastian hukum mengenai wilayah ibukota atau pusat Pemerintahan Provinsi Maluku Utara. Para Pemohon merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, dalam hal ini aspek hukum pemerintahan daerah mengingat daerah provinsi lainnya di Indonesia tidak memiliki permasalahan hukum yang serupa.
“Provinsi Maluku Utara merupakan satu‑satunya daerah di Indonesia yang ibukotanya yang berstatus imajiner karena ketiadaan pengaturan yang berkepastian hukum. Status ibukota imajiner dimaksud berpotensi merugikan para Pemohon selaku warga daerah Provinsi Maluku Utara karena berdampak pada derajat kualitas pelayanan publik yang tidak optimal dan sedikit banyak berkontribusi negatif terhadap percepatan pembangunan daerah,” tegas Gunawan.
Berikutnya, Abdul Kadir Bubu menyampaikan arahan panel hakim pada persidangan sebelumnya yang menyarankan para Pemohon untuk mengikutsertakan Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintahan Kota Tidore Kepulauan. Para Pemohon menyatakan telah menghubungi Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintahan Kota Tidore Kepulauan terkait perkara ini.
“Kami berdua telah berkonfirmasi dengan pemerintah provinsi dan saat itu memang langsung dengan Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara juga menyikapi positif dengan hal ini, tetapi mereka tidak ikut serta. Hanya saja Pemerintah Kota Tidore Kepulauan juga kami konfirmasi dan mereka memutuskan untuk akan mengajukan diri sebagai Pihak Terkait,” terang Abdul Kadir Bubu.
Baca juga:
Pemohon: Sofifi Tidak Layak Sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara
Sebagaimana diketahui, permohonan perkara yang diregistrasi Nomor 54/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Gunawan A. Tauda dan Abdul Kadir Bubu (para Pemohon). Para Pemohon mempersoalkan kedudukan Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (UU 46/1999 juncto UU 6/2000).
Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000 menyatakan, “Ibukota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi.”
Para Pemohon selaku warga daerah Provinsi Maluku Utara merasa hak-hak konstitusionalnya terlanggar atau berpotensi terlanggar dengan pemberlakuan Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000. Kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon, yakni kehilangan hak untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara di daerah Provinsi Maluku Utara, kehilangan hak atas kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dikarenakan sejak pengundangan UU No. 46/1999 juncto UU No. 6/2000 pada 4 Oktober 1999 silam hingga kini, pemerintah gagal untuk merealisasikan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara.
Menurut para Pemohon, Provinsi Maluku Utara merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang belum atau tidak memiliki ibukota provinsi. Satu-satunya daerah provinsi di Indonesia yang ibukotanya berstatus sebagai kelurahan.
Saat ini Kelurahan Sofifi merupakan bagian wilayah administrasi Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan. Pemindahan aktivitas pemerintahan sejak pembentukan Provinsi Maluku Utara dari Ternate sebagai ibukota transisional ke Sofifi sebagai ibukota definitif, baru dapat terlaksana secara bertahap hingga 4 Agustus 2010, meskipun Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Pembentukan DOB Kota Sofifi belum diundangkan.
Menurut para Pemohon, UU Pemekaran Daerah di Provinsi Maluku Utara bertentangan dengan UU Pembentukan Provinsi Maluku Utara, karena seharusnya, UU Pemekaran Daerah di Provinsi Maluku Utara juga menetapkan pembentukan Kota Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, namun sayangnya tidak terjadi. Hal ini cukup beralasan bila menelisik Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU Maluku Utara yang menjelaskan, “Yang dimaksud dengan Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara pada ayat ini adalah sebagian wilayah yang berada di Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah”.
Menurut para Pemohon, dengan dibentuknya UU Pemekaran Daerah di Provinsi Maluku Utara, berkonsekuensi bahwa secara tidak langsung/implisit Pembentuk UU menentukan kota Tidore Kepulauan yang di dalamnya terdapat wilayah Kecamatan Oba sebagai wilayah ibu kota provinsi, atau setidak-tidaknya pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara. Hal ini ditambah ketidakmanfaatan pemindahan kembali ibu kota provinsi di wilayah lain, karena sebagian besar sarana dan prasarana pemerintahan provinsi telah dibangun di Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan. Maka menurut para Pemohon, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa secara de facto, Kota Tidore Kepulauan merupakan pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menyatakan Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Kota Tidore Kepulauan”. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur Rosihin.
Humas: Andhini SF.