JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, pada Senin (8/11/2021) secara daring. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 55/PUU-XIX) 2021 ini dimohonkan oleh Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HakA) yang diwakili oleh Farwiza, dkk.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Pemohon yang diwakili oleh Harli mengatakan bahwa pihaknya telah memperbaiki kedudukan hukum para Pemohon yang mana dalam kedudukan hukum tersebut para Pemohon menjelaskan bahwa Yayasan HakA merupakan badan hukum privat. Sehingga memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan.
Selain itu, sambung Harli, pada bagian posita, para pemohon hanya ingin mengembalikan ke pasal sebelum adanya perubahan, yakni Pasal 26 UU 32/2009 sebelum diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
Pemohon juga mengubah petitumnya, dengan meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja, yaitu perubahan tentang Ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertentangan dengan Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
“Dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Pasal 26 Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap, serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi yang terkena dampak. B. Pemerhati lingkungan hidup dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan pada dokumen AMDAL,” terang Harli.
Baca juga: LSM Lingkungan Hidup Uji Ketentuan Proses Amdal dalam UU Cipta Kerja
Sebelumnya, pemohon mengatakan bahwa organisasi lingkungan hidup memiliki hak konstitusional untuk memberikan, menyampaikan informasi khusus mengenai lingkungan hidup dalam proses. Apalagi Pemohon terlibat dalam komisi AMDAL daerah untuk menentukan ikut terlibat memberikan masukan terhadap AMDAL. Akan tetapi, dengan adanya UU Cipta Kerja keterlibatan Pemohon serta masyarakat yang yang tidak terkena dampak langsung dihapus oleh UU Cipta Kerja. Menurut Pemohon, penghapusan keterlibatan Pemohon dalam memberi masukan terhadap dokumen Amdal, sebagaimana ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU 32/2009 namun telah diubah oleh Pasal 22 angka 5 UU11/2020, jelas merupakan kerugian atau potensi kerugian konstitusional Pemohon untuk mencegah dan melindungi kerusakan lingkungan akibat dari proyek pembangun atau proyek skala besar yang wajib Amdal.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: ”Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara bebas dan sukarela untuk melindungi kepentingan dan kebutuhannya”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita