JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) angkatan X secara daring pada Sabtu (6/11/2021). Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi).
“Pada kesempatan ini, saya akan lebih menekankan pembahasan mengenai praktik beracara di MK. Mungkin nantinya ada dari kalian yang akan mengikuti di persidangan MK sebagai Pemohon, Termohon maupun menjadi kuasa hukum,” ujar Wahiduddin.
Di awal, Wahiduddin memaparkan kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK memiliki empat kewenangan konstitusional (constitutional authorities) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi mempertegas ketentuan tersebut dengan menyebut empat kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu serta memiliki kewajiban untuk memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 (impeachment).
“Selain lima kewenangan tersebut, MK memiliki kewenangan transisi untuk menangani sengketa hasil pemilihan gubernur, bupati, walikota atau pilkada yang diamanatkan kepada MK sebelum terbentuknya badan peradilan khusus,” jelas Wahiduddin.
Selain menguji undang-undang terhadap UUD, lanjut Wahiduddin, MK memiliki kewenangan menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan undang-undang.
MK juga memiliki fungsi yang merupakan derivasi dari kewenangannya itu yakni sebagai pengawal kontitusi (the guardian of constitution), penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution), pengawal demokrasi (the guardian of democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional right), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).
Karakteristik Hukum Acara MK
Lebih lanjut Wahiduddin menjelaskan mengenai karakteristik utama yang digunakan dalam proses peradilan MK, baik terkait dengan substansi perkara maupun hukum acara yakni Konstitusi itu sendiri, UUD 1945. Walaupun terdapat berbagai ketentuan UU dan Peraturan MK (PMK) sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, namun ketentuan tersebut digunakan sepanjang dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tidak terlepas dari sifat wewenang MK yang pada hakikatnya adalah mengadili perkara-perkara konstitusional.
Selain itu, Wahiduddin mengungkapkan jumlah Putusan MK sejak MK berdiri pada 2003 hingga Oktober 2021. Diketahui ada putusan pengujian undang-undang sebanyak 1435 putusan, sengketa kewenangan lembaga negara berjumlah 27 putusan, perselisihan hasil pemilu sebanyak 676 putusan dan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sebanyak 1132 putusan.
Selanjutnya Wahiduddin menjelaskan bahwa pengujian UU terhadap UUD terdiri atas pengujian materiil dan formil. Pengujian formil berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau perpu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan pengujian formil berkaitan dengan proses pembentukan UU atau perpu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU atau perpu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pengujian materiil sebagai pengujian UU yang berkenaan dengan substansi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Wahiduddin pun menerangkan alasan Pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain karena hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Kemudian harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya UU.
Wahiduddin juga menyinggung soal Pemohon yang berperkara di MK, yaitu perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Hal lainnya, Wahiduddin memaparkan sistematika permohonan bagi Pemohon untuk bersidang di MK. Terdiri dari identitas Pemohon, uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi: Kewenangan Mahkamah Konstitusi; Kedudukan hukum (legal standing); Alasan permohonan pengujian; Petitum.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.