TARAKAN, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan ceramah kunci saat peresmian Smartboard Mini Courtroom di Universitas Borneo Tarakan (UBT), Kalimantan Timur pada Jumat (5/11/2021) siang. Saldi di awal ceramahnya menekankan pentingnya pemanfaatan Smartboard Mini Courtroom secara lebih optimal.
“Kita menyambut program Mahkamah Konstitusi memperbarui instrumen persidangan jarak jauh yang dulu mengandalkan kamera yang dibuat sedemikian rupa. Sekarang kita punya Smartboard Mini Courtroom yang jauh lebih canggih untuk bisa mengikuti dan menyelenggarakan persidangan jarak jauh,” ujar Saldi kepada Sivitas Akademika Universitas Borneo Tarakan, termasuk juga Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan.
Namun demikian, kata Saldi, adanya instrumen baru ini jangan hanya dimaknai sebagai alat persidangan jarak jauh. Namun juga harus dimaknai sebagai ruang untuk menyelenggarakan perkuliahan jarak jauh dengan berbagai narasumber, termasuk dengan hakim konstitusi.
“Dengan alat semacam ini, saya kira tidak salah seperti dikatakan Pak Rektor dan Pak Dekan, sebulan sekali Fakultas Hukum Universitas Borneo bisa saja mengagendakan kuliah jarak jauh dengan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Sepanjang diatur jadwalnya dengan baik, tidak bersamaan dengan jadwal persidangan Mahkamah Konstitusi, para hakim akan senang hati berbagi ilmu dengan para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borneo,” urai Saldi.
Pentingnya Judicial Review
Lebih lanjut Saldi menerangkan tentang judicial review dalam konteks checks and balances hubungan antarlembaga negara. Dikatakan Saldi, sejak awal kekuasaan kehakiman ditahbiskan sebagai kekuasaan yang merdeka, terpisah dibandingkan kekuasaan-kekuasaan lain.
“Kekuasaan yang betul-betul terpisah dibandingkan kekuasaan legislatif dan eksekutif, adalah judicial power. Mengapa itu diperlukan, karena secara hakekat, legislatif dibuat untuk membuat aturan. Kemudian eksekutif dibuat untuk mengeksekusi aturan. Bagaimana kalau suatu waktu, legislatif dan eksekutif berkolaborasi dalam pengertian negatif, siapa yang harus menilai pekerjaan-pekerjaan seperti itu?” ungkap Saldi.
Dalam konsep bernegara, lanjut Saldi, salah satu tugas utama Konstitusi adalah membangun desain bagaimana hubungan antarcabang kekuasaan dalam negara setidak-tidaknya dalam pengertian yang minimalis. Dalam arti, Konstitusi akan menentukan secara terbatas apa yang menjadi kewenangan dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
“Desain itu adalah untuk membangun keseimbangan antarcabang kekuasaan negara agar tidak terjadi tabrakan satu sama lain,” ucap Saldi yang juga mengatakan di mana pun Konstitusi di dunia tidak akan pernah memuat secara detail bekerjanya masing-masing institusi negara.
Ditegaskan Saldi, kalau terjadi tabrakan antarcabang kekuasaan negara, maka sangat sulit bagi eksekutif melakukan koreksi. Karena tugas eksekutif adalah melaksanakan apa yang diputuskan oleh lembaga pembentuk hukum. Oleh karena itu, disiapkan sebuah lembaga lain yang bertugas melakukan koreksi terhadap kekuasaan itu. Dalam konteks itu, judicial power adalah lembaga yang melakukan koreksi bagaimana bekerjanya antarcabang kekuasaan itu. Mahkamah Konstitusi menjadi tempat untuk menilai, memeriksa benar atau tidak apa yang didalilkan oleh pihak yang dirugikan dengan berlakunya sebuah undang-undang (UU).
Kewenangan Utama MK
Dalam acara yang sama, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan kuliah umum “Tantangan dan Perkembangan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi”. Suhartoyo menjelaskan, kewenangan utama MK adalah menguji UU terhadap UUD. Kewenangan MK selanjutnya yaitu memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu. Selain itu, MK wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela.
“Sampai hari ini perkara pengujian undang-undang jumlahnya sudah ribuan. Tapi terhadap kewenangan-kewenangan MK yang lain jumlahnya sedikit sekali, seperti sengketa kewenangan antar lembaga negara. Kemudian MK juga belum pernah memutus pembubaran parpol dan memutus terkait pemakzulan Presiden,” ungkap Suhartoyo.
Suhartoyo juga menyingggung adanya kewenangan tambahan bagi MK yang tidak diturunkan Konstitusi yaitu mengadili dan memutus perselisihan hasil pilkada. Namun kewenangan ini bersifat sementara sampai dibentuknya peradilan khusus.
Suhartoyo melanjutkan, ketika MK menjalankan kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD, sifat perkaranya tidak ada para pihak. Artinya, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau Tergugat. Berbeda ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangan selain menguji UU, sifat perkaranya ada pihak Pemohon dan Termohon, ada sengketa kepentingan.
Selain itu Suhartoyo menerangkan dalam pengujian UU terhadap UUD, terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian UU yang berkenaan dengan substansi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Hal lain, Suhartoyo memaparkan sejumlah alasan pemohon menguji UU ke MK, antara lain hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya UU.
Adapun yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK, sambung Suhartoyo, adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.