JAKARTA, HUMAS MKRI - Hari ketiga Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) bagi Guru Mata Pelajaran PPKN Tingkat SMA/SMK dan MA/MAK digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (4/11/2021) secara daring. Narasumber yang dihadirkan pada hari ketiga ini , yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Panitera Pengganti MK Saiful Anwar.
Dalam kesempatan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan materi pada sesi I mengenai Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Memulai paparannya, Suhartoyo mengatakan Hukum Acara MK sangat tergantung dengan kewenangan yang dimiliki oleh MK.
“Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, MK memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Ketiga, MK memutus pembubaran partai politik. Keempat, MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian ada lagi kewenangan MK memutus pendapat DPR mengenai adanya dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tindak pidana. Juga ada kewenangan tambahan dari MK yaitu mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Kewenangan mengadili perkara pemilihan kepala daerah tidak diturunkan dari Konstitusi,” papar Suhartoyo.
Seluruh kewenangan MK tersebut sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun tidak termasuk kewenangan tambahan MK yakni mengadili perkara-perkara sengketa pemilihan kepala daerah.
Beda Hukum Acara
Suhartoyo mengungkapkan perbedaan Hukum Acara MK dalam menjalankan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD dengan hukum acara ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangan lainnya.
“Ketika MK melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, hukum acara yang digunakan cukup signifikan perbedaannya dengan ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangannya yang lain,” lanjut Suhartoyo.
Dijelaskan Suhartoyo, ketika MK menjalankan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, sifat perkaranya tidak ada para pihak. Artinya, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau Tergugat. Berbeda ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangannya selain menguji undang-undang, sifat perkaranya ada pihak Pemohon dan Termohon, ada sengketa kepentingan.
Lebih lanjut Suhartoyo menerangkan secara rinci seluruh kewenangan MK. Dalam pengujian undang-undang terhadap UUD, terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian UU yang berkenaan dengan substansi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji UU ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya UU.
Sedangkan kewenangan MK memutus sengketa konstitusional lembaga negara, adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Seperti MA, MPR, DPR, BPK, DPD. Kemudian kewenangan MK memutus pembubaran partai politik, kata Suhartoyo, Pemohonnya adalah Pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu. Termohonnya adalah parpol yang diwakili pimpinan parpol dan dapat diwakili kuasa hukumnya.
Selanjutnya, Suhartoyo memaparkan kewenangan MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dijelaskan Suhartoyo, para pihaknya adalah pasangan calon presiden sebagai Pemohon dan KPU sebagai Termohon. Kemudian ada Pihak Terkait dan Bawaslu. Sedangkan objek permohonan perselisihan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan perolehan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Berikutnya, kewenangan MK memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum atau pidana. Pihak yang menjadi Pemohon adalah DPR yang wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonan mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.
Pengajuan Permohonan
Selanjutnya, Suhartoyo memaparkan yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan- kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Suhartoyo. terdiri atas identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Lebih lanjut Suhartoyo menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu, ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Dalam sidang pengujian undang-undang tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian undang-undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon, Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait.
Suhartoyo menambahkan, putusan MK bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan mempengaruhi hukum di Indonesia.
Penyusunan Permohonan
Pada kesempatan yang sama, Panitera Pengganti MK Saiful Anwar memberikan materi mengenai Teknik Penyusunan Permohonan Pengujian Undang-Undang.
Dalam penyampaian materi teknik penyusunan naskah, Saiful menyampaikan berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 7 ayat (1) PMK 2/2021, para pihak terdiri dari 3 (tiga) yang mana terdiri dari Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait.
“Ketiganya dapat diwakili oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan,” terang Saiful.
Saiful mengatakan, pihak yang dimaksud pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang. Pemohon sendiri terdiri dari perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara.
Dalam membuat permohonan, sambung Saiful, pemohon harus menguraikan kerugian konstitusional yang dianggap dirugikan. Hak konstitusional tersebut merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang kemudian hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Menurut Saiful, kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Selain itu, adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Pemberi Keterangan
Lebih lanjut Saiful menjelaskan, MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Keterangan Pemberi Keterangan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai fakta yang terjadi pada saat proses pembahasan dan/atau risalah rapat dari undang-undang atau Perpu yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon termasuk hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Pemberi Keterangan atau yang diminta oleh MK. “Pihak lain selain Pemberi Keterangan diposisikan sebagai Pihak Terkait,” ujar Saiful kepada para peserta PPHKWN.
Dikatakan Saiful, Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung dan/atau tidak langsung dengan pokok permohonan. Pihak yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya secara langsung terpengaruh kepentingannya oleh pokok permohonan. Sementara Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung, sambung Saiful, pihak yang hak, kewenangan, dan/atau kepentingannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan dimaksud.
Selain itu, Saiful juga menjelaskan bahwa permohonan merupakan permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 atau pengujian Perpu terhadap UUD 1945. Permohonan pengujian undang-undang dan Perpu itu sendiri meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian materiil adalah pengujian yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang atau Perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang atau Perpu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perpu.
“Permohonan dapat diajukan secara luring atau daring. Berkas permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas Permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak satu eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemohon/Kuasa Hukum, Fotokopi identitas Pemohon/kuasa hukum dan surat kuasa, AD/ART, Permohonan sekurang-kurangnya memuat Identitas Pemohon dan/atau kuasa hukum, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan hukum Pemohon, Alasan permohonan; dan Petitum,” tandas Saiful.
Usai paparan materi, para peserta juga melakukan praktik penyusunan permohonan yang dimentori oleh Panitera Pengganti lainnya. Kegiatan PPHKWN ini diselenggarakan selama empat hari pada Selasa – Jum’at (2 – 5/11/2021). PPHKWN yang diikuti oleh 400 peserta secara daring tersebut, membahas mengenai pengujian undang-undang dan hukum acaranya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P