JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (2/11/2021) siang. Permohonan diajukan oleh Sri Mardiyati yang mempersoalkan ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU GD ihwal pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar.
Sidang Pleno dipimpin Ketua MK Anwar Usman. Agenda sidang Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 kali ini adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Pihak Terkait.
Yusril Ihza Mahendra selaku Ahli Pemohon menerangkan ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU GD yang menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Satuan perguruan tinggi yang keberadaannya diakui secara sah oleh UU tersebut, ungkap Yusril, adalah setiap perguruan tinggi yang dipimpin oleh rektor. Jadi, pejabat yang berwenang dan diberikan delegasi untuk membentuk peraturan dan untuk melaksanakan norma Pasal 50 ayat (2) dan (3) adalah rektor satuan perguruan tinggi tersebut.
“Karena itu, menurut hemat saya, jika ada lembaga lain yang membentuk peraturan untuk melaksanakan norma, ayat, dan pasal tersebut, secara formil dapat dinyatakan oleh Mahkamah Agung secara tidak sah karena dibentuk oleh pejabat yang tidak diberi delegasi oleh undang-undang dan juga tidak didasari oleh kewenangan yang diberikan undang-undang,” jelas Yusril.
Tidak Ada Standar Nasional
Menurut Yusril, rumusan frasa Pasal 50 ayat (4) UU GD memberikan peluang terjadinya perbedaan dalam pengaturan seperti syarat-syarat seleksi dan penetapan jenjang akademik satuan perguruan tinggi dengan perguruan tinggi yang lain. Hal ini menyebabkan situasi yang tidak sehat bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi karena tidak ada standar nasional yang berlaku untuk seleksi calon dosen dan penetapan jenjang akademik.
Ketentuan seleksi dan penetapan jenjang akademik, jelas Yusril, seharusnya dituangkan dan diatur dalam undang-undang itu sendiri, atau undang-undang tersebut mendelegasikannya kepada peraturan pemerintah. Dengan dua alternatif itu, jika sekiranya undang-undang atau peraturan pemerintah memerlukan adanya ketentuan-ketentuan teknis yang menyangkut peraturan pelaksanaan, maka peraturan pemerintah itulah yang mendelegasikan pengaturan teknis tersebut kepada rektor satuan perguruan tinggi yang bersangkutan.
“Karena itu, saya berpendapat, frasa setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 50 UU Guru dan Dosen adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga patut dibatalkan oleh Mahkamah,” tegas Yusril.
Otonomisasi UI
Universitas Indonesia (UI) selaku Pihak Terkait melalui kuasa hukum Ima Mayasari menanggapi Pasal 50 ayat (4) UU GD. Pada prinsipnya, ungkap Ima, UI memiliki kepentingan langsung dengan perkara yang diujikan para Pemohon. Selain itu, menurut peraturan pemerintah, UI merupakan perguruan tinggi berbadan hukum mengelola bidang akademik dan nonakademik secara otonom. Salah satu bentuk otonomisasi itu diberikannya kewenangan kepada Dewan Guru Besar UI untuk melakukan penilaian dan memberikan persetujuan kepada kenaikan jabatan lektor kepala dan guru besar untuk ditindaklanjuti oleh rektor.
“Secara yuridis seharusnya tindak lanjut yang dilakukan rektor baik ke dalam maupun ke luar universitas adalah menetapkan dan mengangkat calon guru besar untuk menjadi guru besar. Sebab Universitas Indonesia diberikan otonomisasi atau kemerdekaan dalam bidang akademik sesuai peraturan pemerintah,” jelas Ima.
Namun demikian, dalam praktiknya, Peraturan Pemerintah yang menjadi payung hukum bagi UI tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab ada Peraturan Teknis dari Kementerian terkait yang mengurangi otonomisasi UI, antara lain Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 46 Tahun 2013 yang memberikan kewenangan kepada Kemendikbud sebagai pembina jabatan akademik dosen dalam menaikkan jabatan akademik.
***
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU GD dajukan oleh Sri Mardiyati. Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). Jabatan terakhir Pemohon adalah lektor kepala. Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun usulan tersebut ditolak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU GD, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh Menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan Direktorat Pendidikan Tinggi.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU GD disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.
Menurut Pemohon, dalam praktiknya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU GD diberikan makna lain dengan menggunakan Pasal 70 UU GD. Seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina