MAKASSAR, HUMAS MKRI - Independensi hakim diwujudkan dari kemandirian hakim untuk memutus. Demikian disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Seminar Nasional bertema “Nilai-nilai Etik Dalam Proses Peradilan di Mahkamah Konstitusi”, kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, yang berlangsung di Gedung Rektorat UIN Alauddin Makassar, Gowa, Sulawesi Selatan, Jumat, (29/10/2021).
“Kalau saya mengerti selama ini selama ini hanya dipahami kemandirian untuk memutus yang dipertanggung jawabkan secara lahiriah, tapi bagi saya, independensi ini juga harus bertanggung jawab kepada Allah Subhana wa Ta’ala,” ujar Arief.
Salah satu bentuk etika dari seorang hakim adalah independensi, kemudian ini ini melahirkan discenting opinion yang merupakan tanggung jawab personal hakim untuk menunjukan independensinya. Lebih lanjut Arief mengatakan, kita tidak bisa menalurikan prinsip-prinsip atau pun konsep-konsep hukum yang datang dari peradaban lain, karena tidak akan cocok. Etika berikutnya yang harus dimiliki seorang hakim adalah imparsialitas, atau ketidakberpihakan. Menurut Arief, ketidakberpihakan seorang hakim sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya, sehingga ktidakberpihakan sangat sulit diterapkan oleh seorang hakim.
Arief melanjutkan etika berikutnya yang harus diterapkan oleh seorang hakim adalah prinsip kesetaraan. Seorang hakim harus memperlakukan seseorang dengan setara. Kecakapan dan keseksamaan menjadi etika berikutnya yang harus dimiliki oleh seorang Hakim Konstitusi.
“Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mensyaratkan seorang Hakim Konstitusi berpendidikan minimal doktor atau Strata 3, berbeda dengan jabatan lainnya yang tidak mensyaratkan jabatan minimal. Syarat negarawan juga hanya berlaku bagi Hakim Mahkamah Konstitusi, tidak ada jabatan lain di Indonesia yang mensyaratkan negarawan,” papar Arief.
Integritas dan kebijaksanaan adalah prinsip etika kelima yang harus dimiliki oleh seorang Hakim Konstitusi. Arief mengungkapkan, menjadi hakim MK benar-benar harus membatasi diri untuk berinteraksi dengan orang lain.
“Untuk menjaga integritas salah satunya, ketika musim pilkada kalau membeli tiket pesawat menghindari kelas bisnis, untuk menghindari kontestan pilkada,” kata Arief. “Jadi, selama menjadi Hakim Konstitusi hidup saya seperti seorang pertapa jauh dari siapa-siapa, padahal selama menjadi dosen saya berteman dengan siapa saja,” imbuh Arief.
Kehidupan Politik, Agama dan Disrupsi Teknologi di Indonesia
Indonesia harus dikelola sesuai denan pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila. Dari beberapa negara dengan penduduk mayoritas muslim menerapkan ideologi yang berbeda-beda. Kita dapat melihat Turki yang menjadi negara sekuler, berikutnya Pakistan yang mengitegralkan agama dengan negara, sementara Indonesia sebagai mensinergikan antara agama dan negara.
Demikian pula dengan demokrasi, seharusnya sebagai negara Pancasila, Indonesia menerapkan demokrasi berketuhanan, tetapi dalam pemilihan kepala daerah kita melihat anomali konsepsi negara berketuhanan.
Selain itu, Indonesia saat ini juga mengalami kemajuan teknologi yang membuat batas fisik menjadi hilang, sehingga harus kita pertanyakan apakah benar saat ini negara masih memiliki batas. Arief mengingatkan, jika kita tidak beradaptasi dengan perkembangan teknologi maka akan membuat kita tercerabut dari akar budaya. Arief juga mengingatkan, saat ini merupakan era post truth, atau kebenaran imitasi, di mana suatu kabar bohong yang di ulang-ulang di sosial media akan menjadi kebenaran publik.
Etika Melahirkan Konstitusi
Sebelumnya, Rektor UIN Alauddin Makassar Hamdan Juhannis, dalam sambutannya mengatakan, nilai etika membangun norma, membangun nilai-nilai, membangun hukum, berperan dalam dalam proses pengambilan putusan, etika adalah menjadi dasar keteraturan hidup dan nilai-nilai manusiawi. Hamdan mengungkapkan, kita pernah mendengar etika melawan estetika, dimana estetika tanpa etika akan membuat kita menjadi seperti binatang. Oleh karena itu, menurutnya, etika menjadi penting karena bersifat universal, karena menjadi pijakan norma moral.
Lebih lanjut Hamdan mengatakan, etika menentukan keberlangsungan keberadaban manusia, termasuk melahirkan konstitusi. Salah satu yang ditonjolkan dari etika adalah nilai-nilai lokal, menurut Hamdan, nilai-nilai etika ini relevan sepanjang masa, karena di mana ada konstitusi di situ ada etika. (*)
Penulis: Ilham M.W
Editor: Lulu Anjarsari P