MAKASSAR, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menyampaikan ceramah kunci pada peresmian “Pemanfaatan Smartboard Mini Courtroom” sebagai perangkat persidangan jarak jauh di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar pada Jumat (29/10/2021).
“Mudah-mudahan dengan adanya Smartboard Mini Courtroom, kualitas Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia semakin berkibar di republik tercinta ini,” kata Anwar.
Anwar menegaskan pentingnya Konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa mengindahkan Konstitusi, tanpa mengindahkan hukum, maka tinggal menunggu kehancuran sebuah bangsa.
“Hal itu terjadi sejak zaman dahulu. Bagaimana jatuh bangunnya sebuah bangsa, sebuah kesultanan ketika Konstitusi dan hukum tidak diindahkan,” jelas Anwar.
Anwar mencontohkan Kesultanan Turki Utsmaniyah yang dahulu begitu disegani di dunia. Namun pada akhirnya mengalami kehancuran, keruntuhan, akibat dari kehidupan masyarakat di Kesultanan Turki Utsmaniyah yang semakin mengarah kepada hedonisme, cinta dunia.
Pada kesempatan itu Anwar juga menerangkan empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK) yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Mulai kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu, serta wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela.
“Amanat Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 meliputi hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Anwar.
Anwar memaparkan, MK sudah beberapa kali menjatuhkan putusan yang berkaitan dengan Hukum Islam. Misalnya terkait dengan usia perkawinan, ada pembaruannya.
“Namun demikian, pembaruan diartikan tidak hanya dalam bidang hukum saja. Tetapi juga pembaruan di bidang-bidang lain,” papar Anwar.
Pembaruan Hukum
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams pada kesempatan ini memberikan Kuliah Umum “Pembaruan Hukum di Indonesia”. Wahiduddin menuturkan, Proklamasi Kemerdekan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi titik tolak bangsa Indonesia harus memperbarui hukum yang akan berlaku di Indonesia.
“Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah titik tertib hukum yang harus kita bangun. Dari masyarakat yang terjajah, tidak berdaulat, terdiskriminasi, maka dengan Proklamasi Kemerdekaan itulah titik tolaknya kita harus membangun hukum di Indonesia yang merdeka, berdaulat dan sebagainya. Titik tolak ini pernah disebut dalam TAP MPRS No. 20 Tahun 1966, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bukan meneruskan hukum penjajah,” kata Wahiduddin.
Lebih lanjut Wahiduddin menjelaskan, untuk mengisi agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dibuatlah peralihan dalam UUD 1945. Sehingga pada waktunya, bangsa Indonesia akan membangun hukum bangsa sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Sampai tahun 1984, lebih dari 600 peraturan perundang-undangan di Indonesia masih merupakan produk kolonial warisan Hindia Belanda. Lebih dari 200 tahun, hukum dari penjajah berlaku di Indonesia. Ada sejumlah produk hukum yang menjadi tugas besar saat Kemerdekaan Indonesia. Di antaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Hukum Acara Pidana, Kitab Hukum Acara Perdata, Hukum Dagang. Jadi, masih banyak hal yang berat dalam pembaruan hukum di Indonesia.
“Pembaruan hukum merupakan satu keniscayaan. Kita harus melakukan pembaruan-pembaruan. Dalam arti yang sempit, kita pernah melakukan pembaruan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Sedangkan dalam arti yang luas, bangsa Indonesia pernah melakukan Perubahan UUD 1945 atau yang disebut amendemen,” tandas Wahiduddin.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.