JAKARTA (Suara Karya): Penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak perlu menunggu kehadiran pengadilan HAM ad hoc.
"Sudah jelas Komnas HAM melaksanakan penyelidikan dan Kejaksaan Agung untuk penyidikannya," kata Koordinator Kontras Usman Hamid seusai menemui Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, Rabu. Apalagi, kata dia, soal pengadilan ad hoc sendiri sudah diputuskan oleh MK pada 21 Februari 2008. "Otomatis semua pihak harus menjalankannya," katanya menambahkan.
Usman malah mengimbau agar Komnas HAM, Kejaksaan Agung (Kejagung) serta Menteri Pertahanan (Menhan) bertemu agar tidak terjadi kekeliruan dalam memandang pemeriksaan kasus pelanggaran HAM.
Sebelumnya MK memutuskan bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu.
Terkait dengan penolakan sejumlah purnawirawan untuk dipanggil Komnas HAM karena berpijak kepada Pasal 28 UUD 1945, menurut Usman, hal itu tidak mutlak karena pada dasarnya UU Pengadilan HAM adalah mengutamakan prinsip non-retroaktif.
"Saya datang ke sini (MK) karena melihat kendala yang dihadapi Komnas HAM hingga korban tidak ada kepastian dalam hukum, seperti pada kasus Talangsari," katanya.
Meski demikian, Usman menyadari bahwa MK bukanlah lembaga yang tepat dimintai konsultasi untuk membicarakan kasus, tetapi lebih kepada norma konstitusi. "Pertemuan ini kami lakukan, berkaitan dengan putusan MK. Karena itu, setelah ada keputusan MK, kami menilai bahwa Kejaksaan Agung sudah bisa melakukan penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, tanpa harus menunggu dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc," ujarnya.
Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa keputusan MK sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi. "Jadi, kalau persoalan hukum terkait dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, itu bukan urusan MK untuk membahasnya. Urusan MK adalah urusan norma undang-undang, jadi tidak ada hubungannya dengan kasus-kasus yang menjadi tanggung jawab penegak hukum," katanya.
Pada bagian lain, Jimly juga berharap agar LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan tidak hanya mengangkat kasus saja, melainkan juga mengangkat kebijakan Undang Undang (UU) atau Peraturan Daerah (Perda) yang melanggar HAM.
"Saya menganjurkan LSM kemanusiaan itu tidak hanya terjebak dalam urusan kasus, tapi harus memperhatikan soal policy (kebijakan)," katanya.
Demikian pula pada kalangan penyelenggara negara agar memahami HAM, agar kebijakan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan HAM. "Kalau persoalan HAM itu tidak dibahas, maka akan terus menimbulkan masalah," katanya.
Terpisah, Wakil Ketua MPR AM Fatwa meminta Komnas HAM mempertimbangkan kembali secara politis upaya melaporkan ke Sidang Dewan HAM PBB soal hambatan penyelidikan yang dilakukan lembaga tersebut dalam sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengkritik upaya Komnas HAM melaporkan hambatan penyelidikan ke kantor PBB. (Sugandi/Ant)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id