MAKASSAR, HUMAS MKRI - Hak konstitusional warga negara merupakan hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hak konstitusional berupa hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak kesejahteraan, hak serta dalam pemerintahan, hak perempuan dan hak anak. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam Kuliah Umum Kerja Sama Mahkamah Konstitusi dan Universitas Bosowa, Makassar, Sulawesi Selatan pada Jumat (29/10/2021).
Enny yang hadir secara luring mengatakan, hak-hak tersebut yang menjadi bagian yang dianggap dirugikan oleh orang-orang atau badan hukum yang mengajukan permohonan harus tergantung dengan apa yang dimohonkan nanti. “Ini yang kemudian akan dilihat apakah pemohon itu betul memang ada anggapan kerugiannya itu,” ujar Enny.
Lebih lanjut Enny menjelaskan, MK merupakan buah dari hasil reformasi. “Karena reformasilah hadir lembaga bernama MK,” jelasnya. Dahulu, Enny mengatakan, gagasan pembentukan MK terjadi ketika Moh. Yamin dalam sidang BPUPK mengusulkan agar Balai Agung (MA) diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang. Namun Soepomo tidak setuju, karena UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu. Kemudian, Tahun 1970-an Ikatan Sarjana Hukum mengusulkan agar MA diberi wewenang menguji Undang-Undang. Dan gagasan tersebut baru terealisasi setelah adanya reformasi dan adanya perubahan UU.
Menurut Enny, MK mempunyai kewenangan yang pada pokoknya bersumber dari UUD 1945. Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk Menguji UU terhadap UUD 1945. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Memutus pembubaran parpol. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
“Dalam sistem ketatanegaraan kita sekarang ini dengan sistem presidensial, masa jabatan presiden fix 5 tahun. Tetapi dalam masa jabatan itu bisa jadi presiden melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Bagaimana bisa menegakkan hukum supaya tidak mempunyai pemimpin yang seperti itu. Mekanisme yang digunakan adalah mekanisme yang disebut dengan pemakzulan. MK pun punya kewenangan berkenaan ketika DPR hendak menurunkan presiden. Jadi kelembagaan MK menentukan ketika ada sengketa presiden siapa yang menjadi calon presiden terpilih dan bisa menangani persoalan jika hendak ingin menurunkan presiden,“ jelas Enny.
Selain itu, sambung Enny, MK mempunyai kewenangan tambahan yang tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi UU Pilkada. “Kita menghendaki adanya peradilan khusus mengenai penyelesaian sengketa hasil dari pemilihan daerah. Akan tetapi sampai saat ini peradilan khusus belum terbentuk. Sehingga, sampai dibentuknya peradilan khusus oleh UU maka diserahkan ke MK,” tandasnya.
Dikatakan Enny, dalam perkembangan kewenangannya, MK juga berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P