JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Partai Indonesia (Partindo) tidak dapat diterima. Demikian amar Putusan Nomor 45/PUU-XIX/2021 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang pengucapan putusan ini digelar di MK pada Rabu (27/10/2021) secara daring.
Partindo (Pemohon) yang diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana (Ketua Umum) dan Abdullah Mansuri (Sekretaris Jenderal) mengujikan Pasal 5 huruf d UU MD3 yang menyatakan, “MPR bertugas: … d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Partindo merasa dirugikan karena tidak terselenggaranya pembangunan nasional secara konsisten dan berkesinambungan akibat tidak adanya tugas MPR membuat dan merumuskan panduan arah dan strategi pembangunan nasional, sehingga Pemohon tidak dapat mewujudkan dasar dan tujuan partainya untuk memperjuangkan haknya secara kolektif membangun masyarakat, bangsa dan negara. Pemohon pada pokoknya menghendaki agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ditambahkan tugas yaitu menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan, Pemohon tidak menjelaskan dan tidak menunjukkan keterkaitan antara kedudukan Pemohon sebagai partai politik dengan kerugian Pemohon mengenai pelaksanaan tugas MPR yang sedang berlaku saat ini berdasarkan Pasal 5 UU MD3.
Menurut Mahkamah, hal tersebut karena Pemohon pada saat mengajukan permohonan a quo memang tidak memiliki kursi di DPR sekaligus bukan pula merupakan anggota MPR yang melaksanakan kewenangan dan tugas lembaga MPR, sehingga kerugian yang diuraikan Pemohon tidak berkaitan langsung dengan pasal yang dimohonkan pengujian. Jikapun kerugian Pemohon tidaklah terjadi saat ini, yang artinya kerugian tersebut bersifat potensial, Pemohon pun tidak menguraikan potensi kerugian apa yang akan dialami oleh Pemohon yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan adanya Pasal 5 huruf d UU MD3. Apalagi mengingat Pemohon dengan nama partai yang terbaru belumlah terdaftar sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum yang terdekat diagendakan pada tahun 2024.
Selain itu, sambung Arief, Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual. Pemohon hanya menyatakan dirugikan jika MPR tidak memiliki tugas menyusun PPHN. Namun, Pemohon tidak menunjukkan apa kerugiannya secara spesifik dan aktual. Pemohon juga tidak menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud Pemohon dengan berlakunya Pasal 5 huruf d UU MD3 yang dimohonkan pengujian.
“Pemohon hanya menyebut bahwa dirinya tidak dapat mewujudkan dasar dan tujuan pendirian Partai Pemohon, namun Pemohon tidak menjelaskan hubungan sebab akibat antara kerugiannya dengan berlakunya Pasal 5 huruf d UU 17/2014 yang dimohonkan pengujian. Pemohon pun tidak menguraikan mengenai kemungkinan bahwa jikapun Pasal 5 huruf d UU 17/2014 rumusannya adalah sebagaimana Pemohon inginkan maka kerugian yang didalilkannya tidak akan terjadi, karena Pemohon saat ini bukan partai politik yang memiliki kursi di DPR yang sekaligus merupakan anggota MPR serta tidak sedang menjalankan kewenangan dan tugas sebagai anggota MPR,” jelas Arief.
Dengan demikian, Arief melanjutkan, meskipun permohonan diajukan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal yang berhak mewakili partai Pemohon serta dengan mendalilkan dirinya sebagai partai politik yang tidak ikut membahas UU 17/2014, namun Pemohon tidak dapat menjelaskan mengenai adanya kerugian yang dialaminya secara spesifik dan aktual maupun potensial, demikian pula hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Pasal 5 huruf d UU MD3 yang dimohonkan pengujian.
“Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan,” tegas Arief.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita