JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai kewenangan Pemerintah melakukan pemutusan akses sistem elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020 dibacakan pada Sidang Pengucapan Putusan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/10/2021) di Ruang Sidang Pleno MK secara virtual.
Sebelumnya, Arnoldus Belau (Pemohon I) dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendalilkan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE telah melanggar hak konstitusional mereka. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) UU ITE memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah. Ia menegaskan, bahwa kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga: Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Terkait dalil tersebut, dalam Pertimbangan Hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah memaparkan mengenai pola teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini banyak digunakan. Menurut Mahkamah, internet yang merupakan wadah komunikasi digital yang dapat melibatkan siapapun dengan karakteristik penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sangat cepat, luas, dan masif dengan tidak mengenal ruang dan waktu.
Enny melanjutkan apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum tersebut telah terlebih dahulu diakses—sebelum dilakukan pemblokiran—maka dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan masif yang dalam batas penalaran yang wajar dapat menimbulkan kegaduhan, keresahan dan/atau mengganggu ketertiban umum. Untuk hal inilah, diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh Pemerintah untuk dapat sesegera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum.
“Sebab, virtualitas internet memungkinkan konten terlarang yang bersifat destruktif dan masif, yang memiliki muatan yang melanggar hukum, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebar dengan cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Oleh sebab itu, peran Pemerintah dalam menjaga dan membatasi lalu lintas dunia siber sangat diperlukan mengingat karakteristik dari internet tersebut yang mudah membawa dampak buruk bagi masyarakat,” papar Enny.
Baca juga: Redaksi Suara Papua dan AJI Perbaiki Permohonan Uji UU ITE
Oleh karena itu, lanjut Enny, tidak mungkin bagi Pemerintah untuk menerbitkan terlebih dahulu KTUN secara tertulis—sebagaimana petitum para Pemohon. Sebab, proses penerbitan KTUN tertulis membutuhkan waktu yang tidak mungkin akan lebih cepat dari waktu sebaran muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang. Terlebih, jika muatan/konten dilarang (ilegal) tersebut telah berada di area komunikasi privat maka sebarannya pun semakin tidak terkendali.
“Oleh karena itu, dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, yang sesungguhnya tidak memohon kepada Mahkamah untuk menghilangkan norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, namun memohon kepada Mahkamah agar norma a quo diberi tafsir terbatas dengan menambahkan frasa ‘setelah mengeluarkan keputusan administrasi atau keputusan tata usaha negara secara tertulis’,” urai Enny.
Baca juga: Pemerintah: Warga Negara Dapat Ajukan Upaya Administratif Atas Tindakan Pemblokiran
Notifikasi Digital
Enny juga menyebut tindakan Pemerintah melakukan pemutusan akses tidak berarti menghilangkan hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akan tetapi, lanjutnya, penggunaan hak tersebut pun tidak boleh juga menghilangkan hak negara untuk melindungi kepentingan umum, terlebih kepentingan anak-anak dari bahaya informasi yang memiliki muatan yang dilarang (ilegal) secara cepat. Terlebih lagi, terhadap tindakan pemerintah tersebut terbuka ruang untuk dilakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tetap dijamin.
Menurut Mahkamah, sambung Enny, sesuai dengan perkembangan teknologi digital terkait dengan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses atas konten yang memiliki muatan dilarang (ilegal) dapat saja bersamaan dengan itu Pemerintah menyampaikan notifikasi digital, berupa pemberitahuan kepada pihak yang akan diputus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektroniknya. Sehingga, dalam tindakan Pemerintah tersebut tetap terjamin asas keterbukaan sebagaimana cerminan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
“Namun demikian, berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah, tidak terdapat juga persoalan konstitusionalitas norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 terhadap hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin Pasal 28F UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Enny.
Prosedur Normalisasi
Kemudian, Hakim Konstitusi Daniel Y.P. Foekh menyambung bahwa Pemerintah menjalankan kewenangannya sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, telah menyediakan dasar hukum beserta produk hukum dalam tata cara pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum serta tata cara normalisasinya.
“Dengan demikian, apa yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran para Pemohon atas adanya tindakan pemerintah memutus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tentu tidak akan terjadi karena tindakan tersebut hanya dilakukan jika terdapat unsur adanya konten yang memiliki muatan yang melanggar hukum, sebagaimana yang dicontohkan jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut dalam Penjelasan Pasal 96 huruf a PP 71/2019,” ujar Daniel.
Oleh karena itu, sambung Daniel, dalam konteks ini negara diwajibkan hadir untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan karena adanya penyalahgunaan muatan dalam menggunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Terkait dengan adanya pemutusan akses, telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkannya sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana cerminan kehidupan dalam suatu negara hukum.
“Oleh karenanya, dalil para Pemohon mengenai pertentangan norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Daniel.
Seharusnya Dikabulkan Sebagian
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Keduanya menyebut seharusnya permohonan para Pemohon dinyatakan dikabulkan untuk sebagian. Alasannya, dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE, sama sekali tidak termuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses. Padahal, lanjut Saldi, dalam batas penalaran yang wajar, wewenang yang diberikan dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE kepada pemerintah adalah menyangkut atau berdampak pada pembatasan hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara, sehingga seharusnya juga diatur secara jelas. Dalam hal ini, norma dalam undang-undang mestinya memberikan kepastian mengenai bagaimana pembatasan hak tersebut dilakukan sehingga warga negara atau lembaga yang terdampak akibat pembatasan hak tersebut mengetahui dasar atau pertimbangan pemerintah memutuskan dan/atau melakukan tindakan pembatasan hak atas informasi dimaksud.
Saldi yang membacakan pendapat berbeda tersebut menyampaikan merumuskan konstruksi hukum yang mengharuskan adanya ketentuan bagi Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses pemerintah melakukan proses secara jelas dapat ditempatkan sebagai bagian dari bentuk etika dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, proses dengan alasan yang jelas dapat pula ditempatkan sebagai bahagian bekerjanya mekanisme saling cek dan saling mengawasi (checks and balances) agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang sangat mungkin dari waktu ke waktu penyalahgunaannya akan semakin meningkat seiring dengan kian kuatnya negara dalam menjalankan kewenangannya (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely).
Adanya Pemberitahuan
Dalam konteks itu, sambung Saldi, Pemerintah harus dibebani kewajiban menggunakan kewenangan dalam konstruksi hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dengan cara menerbitkan penjelasan secara tertulis dalam melaksanakan wewenang dimaksud. Sekalipun terdapat kewajiban Pemerintah menerbitkan penjelasan secara tertulis dalam melaksanakan wewenang dimaksud, kewajiban Pemerintah tidaklah harus sama sebagaimana yang dimohonkan Pemohon berupa “setelah menerbitkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis”, tetapi cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun lewat digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik.
“Sebab, bila diwajibkan sebagaimana Petitum yang dimohonkan para Pemohon, tindakan atau keputusan pemerintah demikian sebenarnya telah dapat diuji melalui peradilan tata usaha negara karena sudah meliputi tindakan dan keputusan. Apabila norma a quo dimaknai sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon, hal demikian dapat menutup ruang bagi “tindakan” pemerintah dalam penyelenggaraan negara,” urai Saldi.
Menurut Saldi, para Pemohon sama sekali tidak hendak menghilangkan wewenang Pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Artinya, para Pemohon menyadari wewenang pemerintah tersebut diperlukan dalam mengontrol informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum. Namun demikian, sebagai pengguna informasi elektronik, termasuk pengguna lain selain Pemohon, penjelasan perihal alasan pemutusan akses atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut perlu dibuat, dinyatakan dan disampaikan secara tertulis oleh pemerintah kepada pengguna informasi elektronik.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan alasan untuk membangun dan menjaga etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengejawantahkan prinsip checks and balances, dan mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum yang demokratis, Mahkamah harusnya menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU adalah konstitusional sepanjang dimaknai: ‘Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum setelah mengeluarkan atau disertai penjelasan tertulis/digital’,” tandas Saldi.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Andhini S.F