JAKARTA (Suara Karya): Presiden dan DPR-RI adalah institusi paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kedua lembaga itu terkesan membiarkan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadilan Tipikor berlarut-larut dan menggambarkan inkonsistensi pemerintah terhadap pengadilan tersebut.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menilai berlarut-larutnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tampak seperti disengaja. "Ini jelas merupakan sebuah kesengajaan agar Pengadilan Tipikor dibubarkan," kata Denny saat dihubungi Suara Karya, Rabu.
Saat ini, menurut Denny, draf RUU Pengadilan Tipikor versi masyarakat sudah selesai, begitu juga dengan draf dari pemerintah sehingga sudah bisa dibahas di DPR.
Pada kenyataannya, draf dari pemerintah belum diserahkan ke DPR meskipun sudah selesai disusun. Hal tersebut, menurut Denny, mengindikasikan keengganan pemerintah dalam memberantas korupsi.
Padahal, waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyusun landasan hukum untuk Pengadilan Tipikor selama tiga tahun cukup akomodatif. Namun, jika saat ini RUU tersebut tidak segera dibahas, sudah bisa dipastikan hingga batas waktu yang diberikan MK pada 2009, undang-undang tersebut tidak akan terbentuk. Sebab, pada 2009 semua elemen negara sedang bersiap menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). "Waktu hingga akhir tahun 2008, menurut saya, cukup untuk membahas RUU itu menjadi UU. Asal dilakukan dengan kesungguhan dan mendapat prioritas utama," katanya.
Denny menambahkan, pembubaran Pengadilan Tipikor akan membawa dampak sangat serius pada pemberantasan korupsi di Indonesia. Dampak yang langsung adalah harus dibebaskannya para tersangka dan terpidana yang dipidana oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor.
Sedangkan usul membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sebagai landasan hukum Pengadilan Tipikor dinilai kurang akomodatif. Denny juga menganjurkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memainkan perannya dalam mendorong pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tersebut. "Karena Presiden dan DPR diam saja, sudah saatnya DPD memaksimalkan peran legislasinya dalam mempercepat pembahasan RUU Pengadilan Tipikor," kata Denny.
Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin, juga menilai pemerintah inkonsisten dengan tidak segera mengajukan RUU Pengadilan Tipikor ke DPR untuk dibahas menjadi undang-undang. Padahal, pemerintah dan DPR telah menjalin kesepakatan politik untuk mengagendakan RUU Pengadilan Tipikor dalam Prolegnas 2008. "Artinya, RUU Pengadilan Tipikor telah mendapat tempat dan menjadi prioritas yang akan dibahas dan disahkan pada tahun 2008 bersama sejumlah RUU lainnya," kata Firman melalui siaran persnya.
Firman juga berpendapat tidak alasan yang kuat untuk menyatakan RUU Pengadilan Tipikor tidak selesai sebelum Desember 2009. Sebab, pemerintah telah selesai menyusun draf RUU Pengadilan Tipikor. "Artinya, sudah ada materi yang disiapkan, tinggal diajukan ke DPR. Apalagi RUU Pengadilan Tipikor merupakan hak inisiatif pemerintah. Jadi, pemerintahlah yang seharusnya berinisiatif mendorong dan mengajukannya," kata Firman.
Menurut Firman, saat ini merupakan waktu yang paling tepat untuk mengajukan RUU Pengadilan Tipikor ke DPR. "Jika tidak, maka pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam melakukan dan mendukung upaya pemberantasan korupsi," ujar dia. (Nefan Kristiono)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id