JAKARTA, HUMAS MKRI – Hari kedua Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Asosiasi Dosen Pendidikan Kewarganegaraan dan Asosiasi Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Rabu (27/10/2021). Hadir para narasumber yang memberikan beragam informasi mengenai ketatanegaraan dan MK.
Kepala Bagian Humas dan Kerjasama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono Soeroso menyajikan materi “Sistem Penyelenggaraan Negara Menurut UUD 1945 dan MK dalam Sistem Ketatanegaraan RI”. Fajar menjelaskan, arah penyelenggaraan negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
“Esensi penyelenggaraan negara kita ada dalam Pembukaan UUD 1945. Mau dibawa kemana, dibuat seperti apa negara Indonesia merdeka ini diselenggarakan. Pembukaan UUD 1945 tidak hanya bersifat deklaratif, tetapi juga programatik. Artinya, Pembukaan UUD 1945 memberikan arahan, ketentuan, rambu-rambu bagaimana seharusnya negara yang berkedaulatan rakyat ini dibangun untuk mencapai cita-cita negara. Kemerdekaan Indonesia dibangun melalui UUD 1945,” jelas Fajar.
Segitiga Demokrasi-Nomokrasi-Teokrasi
Fajar juga menerangkan istilah “Segitiga Demokrasi-Nomokrasi-Teokrasi” dalam penyelenggaraan negara. Indonesia menganut tiga prinsip mendasar dalam menyelenggarakan negara. Prinsip pertama adalah teokrasi yang dimaknai sebagai nilai-nilai Ketuhanan dalam menyelenggarakan negara. Seperti pernah dikatakan Hakim Konstitusi Prof. Arief Hidayat, Indonesia adalah negara hukum yang Berketuhanan. Ketika kita menjadi penyelenggara negara, maka seluruh perbuatan kita pada akhirnya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Prinsip kedua, lanjut Fajar, adalah demokrasi. Penerapan demokrasi di Indonesia dilaksanakan menurut koridor UUD. Bahkan dalam beberapa referensi, Indonesia disebut sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Prinsip ketiga, nomokrasi yang berarti negara berdasarkan hukum. Dengan demikian, berdasarkan segitiga demokrasi-nomokrasi-teokrasi itulah, dapat dikatakan Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis dan Berketuhanan.
“Tiga prinsip mendasar itu seharusnya menjadi landasan dalam menjalan negara Indonesia,” tegas Fajar.
Selanjutnya Fajar menjelaskan struktur kelembagaan negara di Indonesia saat ini berbeda dengan tahun-tahun silam. Dulu MPR dikenal sebagai lembaga tertinggi negara, di bawahnya ada Presiden, Mahkamah Agung, DPR dan lainnya yang semuanya disebut sebagai lembaga tinggi negara. Namun sekarang, MPR kedudukannya setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Karena kedudukan paling tinggi dalam negara adalah Konstitusi atau UUD 1945.
“Dulu MPR adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat. Di tangan MPR, semua kekuasaan diinterpretasikan, baru kemudian didistribusikan ke lembaga-lembaga tinggi negara,” ucap Fajar yang juga mengungkapkan hal-hal mengenai Indonesia sebagai negara kesatuan, sistem pemerintahan presindensiil maupun otonomi daerah.
Makna Konstitusi
Sementara itu Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz memaparkan materi “Konstitusi dan Konstitusionalisme”. Faiz menjelaskan pengertian Konstitusi sebagai hukum atau prinsip. Dikatakan Faiz, di negeri Belanda, pengertian Konstitusi dan UUD memiliki makna yang berbeda. Termasuk juga di Jerman, ada perbedaan antara Konstitusi dan UUD. Lantas mengapa Indonesia menjadikan UUD sebagai dasar bernegara dan tidak menyebut sebagai Konstitusi?
“Kalau melihat sejarahnya, UUD banyak dipengaruhi dari istilah-istilah di Jerman. Meskipun hukum di Indonesia banyak dipengaruhi hukum Belanda, tapi kalau untuk urusan ketatanegaraan tidak banyak mengambil dari istilah Belanda,” jelas Faiz.
Disampaikan Faiz, konstitusi bisa dibedakan menjadi dua pengertian, secara sempit dan luas. Pengertian sempit, konstitusi adalah suatu aturan norma dasar yang tertulis, itulah yang dimaksud dengan UUD. Namun juga, Konstitusi memiliki pengertian luas daripada Konstitusi yang hanya dalam bentuk teks. Ada yang namanya konvensi, nilai-nilai dasar yang tidak tercantum dalam UUD, namun bisa ditafsirkan oleh lembaga yang berwenang seperti Mahkamah Konstitusi, Presiden atau DPR.
Faiz juga menjelaskan pengertian Nilai Konstitusi sebagai hasil atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu Konstitusi dalam kenyataan praktik. Menurut seorang pakar bernama Karl Loewenstein, ada aspek penting terkait nilai Konstitusi yakni sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein).
Hal lainnya dan tak kalah penting, Faiz membahas mengenai perubahan prosedur perubahan UUD 1945 yang tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945. Dalam Pasal 37 ayat (1) disebutkan usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian dalam Pasal 37 ayat (2) disebutkan bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Selanjutnya, Pasal 37 ayat (3) menyebutkan bahwa untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan Pasal 37 ayat (4) menyebutkan putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain itu dalam Pasal 37 ayat (5) disebutkan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Perlindungan HAM
Narasumber berikutnya, Amzulian Rifai selaku Anggota Komisi Yudisial yang menampilkan materi “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD dan Semangat Bhinneka Tunggal Ika”. Amuzulian mengungkap berbagai persoalan dan perkembangan global perlindungan hak-hak warga dan terkait hak-hak asasi manusia.
“Hak asasi manusia secara global tidak semata-mata merupakan hal-hal yang sederhana. Ada persoalan mengenai hak gender kaum perempuan, hak terhadap lingkungan dan lainnya. Termasuk juga hak warga negara terhadap pendidikan, ujung-ujungnya akan bicara budgetnya. APBN kita mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20%,” kata Amzulian.
Amzulian mencontohkan upaya pemerintah Inggris dalam mengentaskan kemiskinan rakyatnya agar mendapatkan hak untuk hidup lebih layak. Inggris bahkan membantu pemberantasan kemiskinan untuk negara lain.
“Sekian persen dari APBN Inggris dialokasikan untuk membantu dalam rangka pemberantasan kemiskinan di negara lain,” jelas Amzulian.
Lantas bagaimana pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia? Dikatakan Amzulian, perlindungan HAM di Indonesia didasarkan pada Konstitusi dan beberapa peraturan perundang-undangan. Jaminan HAM di Indonesia termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea 1), sila keempat Pancasila, Batang tubuh UUD 1945 (Pasal 27, 29 dan 30), UU Nomor 39/1999 tentang HAM serta UU Nomor: 26/2000 tentang Pengadilan HAM maupun Konvensi yang Indonesia sebagai state part.
Untuk diketahui, kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara ini terselenggara atas kerja sama MK dengan Asosiasi Dosen Pendidikan Kewarganegaraan serta Asosiasi Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Kegiatan berlangsung pada Selasa-Jumat, 26-29 Oktober 2021 secara daring.
Baca juga
Ketua MK Ungkap Pesan BJ Habibie Saat Pilpres 2019
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.