JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, frasa “orang-orang Indonesia asli” dalam Pasal 26 Ayat (1) UUD 1945 tidak dilakukan perubahan. Namun demikian, syarat dimaksud telah diubah dan tidak lagi menjadi persyaratan untuk menjadi Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan. Setelah perubahan UUD 1945, norma Pasal 6 ayat (1) diubah menjadi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Demikian bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 50/PUU-XIX/2021 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Rabu (27/10/2021).
Lebih lanjut Saldi menyatakan, dengan diubahnya persyaratan untuk menjadi Presiden dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan dihapusnya frasa “orang Indonesia asli” bermakna telah terjadi perubahan fundamental mengenai syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sekalipun telah diubah, tidak berarti syarat menjadi Presiden menjadi longgar karena Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menambah syarat lain terutama “harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri”.
Saldi menyebutkan jika ketentuan Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU Pemilu serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU Kewarganegaraan dinyatakan inkonstitusional, maka hal ini akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945, serta semangat perlindungan dalam Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
“Oleh karena itu, permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Alhasil, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Herifuddin Daulay. “Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam persidangan.
Untuk diketahui, Permohonan pengujian materi UU Pemilu dan UU Kewarganegaraan ini diajukan oleh Herifuddin Daulay yang berprofesi sebagai Guru Honorer. Pemohon mendalilkan Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU Pemilu serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan Alinea I Pembukaan UUD 1945, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Inti persoalan permohonan bertumpu pada keberatan Pemohon berkenaan dengan tidak adanya frasa “berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” pada norma-norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Pemohon menilai dalam UU Pemilu yang berlaku saat ini untuk memilih presiden dan wakil presiden belum mencerminkan sebagai perpanjangan tangan aturan-aturan dasar UUD 1945. Sehingga masih terdapat kesalahan-kesalahan yang kategorinya fatal karena menyelisihi konstitusi. Kesalahan-kesalahan ini menurut Pemohon bersifat fatal karena dapat menjadi celah kembalinya bangsa Indonesia dipimpin oleh bangsa lain namun berkewarganegaraan Indonesia.
Baca juga:
Khawatir Presiden Terpilih Bukan Orang Indonesia Asli, Guru Honorer SMK Uji UU Pemilu
Guru Honorer Sampaikan Pokok Perbaikan Permohonan UU Pemilu
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.