JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Demikian bunyi amar Putusan Nomor 85/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam persidangan yang digelar di MK pada Rabu (27/10/2021).
Permohonan pengujian materiil UU Pengadilan Pajak ini diajukan oleh Sumali (Pemohon I) dan Hartono (Pemohon II) yang merupakan Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Para Pemohon melakukan pengujian Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor yang menyebutkan, “Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. Sumali dan Hartono (para Pemohon) merasa dirugikan dengan adanya periodisasi masa jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali jabatan. Hal ini menurut para Pemohon bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan berupa ketidakpastian dan ketidaksamaan dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman saat memimpin sidang pleno pengucapan putusan.
Mahkamah dalam amar putusan juga menyatakan Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan perundang-undangan, serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sehingga Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor yang semula berbunyi “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan tersebut menyatakan Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor telah membatasi atau menutup peluang bagi seseorang yang sedang menjabat sebagai hakim ad hoc untuk ikut mencalonkan kembali untuk periode masa jabatan berikutnya. Padahal esensi pokok adanya hakim ad hoc adalah karena pertimbangan keahlian tertentu yang dimiliki dan independensi serta integritas sebagai hakim ad hoc sehingga dapat bersinergi dengan hakim karier dalam memutus berbagai jenis perkara yang dihadapi.
Sementara, hakim ad hoc Tipikor yang telah menjalani masa jabatan pertama dan kedua setidak-tidaknya telah memenuhi syarat kompetensi, kapasitas, dan/atau profesionalisme yang telah teruji sehingga dipandang memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor pada periode masa jabatan berikutnya sebagaimana kesempatan yang sama terhadap hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial.
Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016 yang menegaskan dalam pertimbangannya bahwa pengusulan kembali calon Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang pernah menjabat tidak boleh menghilangkan kesempatan calon hakim ad hoc lainnya yang juga memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, pencalonan kembali hakim ad hoc Tipikor juga tidak boleh menyebabkan tertutupnya peluang bagi warga negara lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 UU Pengadilan Tipikor.
“Artinya, untuk dapat mencalonkan diri kembali sebagai hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor bagi hakim ad hoc yang telah menjabat untuk jabatan yang pertama dan kedua dapat mencalonkan kembali untuk jabatan berikutnya dengan cara mengikuti seluruh persyaratan dan proses pencalonan dari awal sebagai calon hakim ad hoc Tipikor bersama-sama dengan warga negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pendapat Mahkamah.
Lebih lanjut Enny Nurbaningsih mengatakan, dengan dibukanya peluang bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor yang telah menjabat pada jabatan atau periode pertama dan kedua serta dibukanya peluang untuk mencalonkan kembali pada periode berikutnya, tidaklah bertentangan dengan sifat kesementaraan hakim ad hoc yang diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu dan telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012. Pentingnya dibuka peluang bagi hakim ad hoc untuk mencalonkan kembali setelah jabatan keduanya berkorelasi dengan upaya memperoleh hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memenuhi kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Dengan demikian, norma periodisasi masa jabatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor dalam Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor yang tidak membuka peluang bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor untuk mencalonkan kembali pada jabatan berikutnya tidak sejalan dengan keinginan untuk menciptakan konsistensi dalam putusan-putusan pengadilan termasuk dalam pengadilan Tipikor serta prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, norma Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor harus dimaknai “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor ternyata menimbulkan ketidaksamaan kedudukan hukum dan ketidakpastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.