JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian undang-undang tentang pembentukan Provinsi Maluku Utara, pada Senin (25/10/2021). Permohonan diajukan oleh Gunawan A. Tauda dan Abdul Kadir Bubu (para Pemohon).
Sidang perkara yang diregistrasi Nomor 54/PUU-XIX/2021 ini dilaksanakan secara daring dari Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Para Pemohon yang hadir secara daring dari Ternate mempersoalkan kedudukan Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (UU 46/1999 juncto UU 6/2000) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000 menyatakan, “Ibukota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi.”
Dalam kedudukan hukum, para Pemohon selaku warga daerah Provinsi Maluku Utara menjelaskan kepeduliannya terhadap UU No. 46/1999 juncto UU No. 6/2000 demi kepentingan publik dan pemerintahan daerah. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya terlanggar atau berpotensi terlanggar dengan pemberlakuan Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000. Kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon, yakni kehilangan hak untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara di daerah Provinsi Maluku Utara, kehilangan hak atas kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dikarenakan sejak pengundangan UU No. 46/1999 juncto UU No. 6/2000 pada 4 Oktober 1999 silam hingga kini, pemerintah gagal untuk merealisasikan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara.
“Ketidakmampuan pemerintah dimaksud berdampak langsung terhadap percepatan pembangunan daerah guna mengejar ketertinggalan Maluku Utara dari provinsi lainnya di Nusantara karena ketiadaan badan hukum publik satuan pemerintahan daerah Kota Sofifi. Sebagai putra daerah, kami merasa tidak dapat secara optimal membangun daerah sesuai bidang keahlian yang dimiliki. Kami merasa secara nyata dirugikan hak konstitusionalnya karena sebagai warga daerah Provinsi Maluku Utara tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil dari pemerintah berupa pembentukan ibukota provinsi, dan tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, dalam hal ini hukum pemerintahan daerah, mengingat daerah provinsi lainnya di Indonesia tidak memiliki permasalahan hukum yang serupa,” kata Gunawan A. Tauda.
Menurut para Pemohon, Provinsi Maluku Utara merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang belum atau tidak memiliki ibukota provinsi, atau setidak-tidaknya merupakan satu-satunya daerah provinsi di Indonesia yang ibukotanya berstatus sebagai kelurahan. Para Pemohon merasa secara nyata dirugikan hak konstitusionalnya karena sebagai warga daerah provinsi merasakan adanya keresahan masyarakat atas ketiadaan ibukota provinsi dimaksud. Hal ini merupakan permasalahan utama daerah, sekaligus menyita perhatian publik Maluku Utara.
Para Pemohon mendalilkan, saat ini Kelurahan Sofifi merupakan bagian wilayah administrasi Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan. Pemindahan aktivitas pemerintahan sejak pembentukan Provinsi Maluku Utara dari Ternate sebagai ibukota transisional ke Sofifi sebagai ibukota definitif, baru dapat terlaksana secara bertahap hingga 4 Agustus 2010, meskipun Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Pembentukan DOB Kota Sofifi belum diundangkan. Pemindahan ini menjadi sebuah harapan besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat Maluku Utara yang baru saja menikmati pemekaran wilayah dari sebelumnya kabupaten dan kota dalam lingkup Provinsi Maluku, menjadi satuan pemerintahan daerah otonom baru Provinsi Maluku Utara. Pemindahan aktivitas pemerintahan dimaksud ternyata mengabaikan salah satu faktor mendasar yaitu belum terbentuknya sebuah entitas kesatuan masyarakat hukum tersendiri berupa daerah Kota Sofifi.
Padahal secara eksplisit, Pasal 20 UU No. 46/1999 juncto UU 6/2000 menentukan, “(1) Sementara menunggu kesiapan prasarana dan sarana yang memadai bagi ibukota Provinsi Maluku Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), ibukota sementara ditetapkan di Ternate; dan (2) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun, Ibukota Provinsi Maluku Utara yang definitif telah difungsikan.”
Pemaknaan kata “sarana” dalam frasa “sarana dan prasarana” menurut para Pemohon harus dimaknai mencakup pula terbentuknya sebuah entitas badan hukum publik yang bernama Kota Sofifi. Sedangkan frasa “telah difungsikan” bermakna pembatasan dalam aspek waktu. Ini berarti dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah UU No. 46/1999 diundangkan pada 4 Oktober 2004, Pemerintah dan DPR terikat untuk membentuk UU DOB Kota Sofifi. Mirisnya, selama 22 tahun sejak provinsi ini terbentuk, RUU Pembentukan DOB Kota Sofifi belum diundangkan.
Menurut para Pemohon, UU Pemekaran Daerah di Provinsi Maluku Utara bertentangan dengan UU Maluku Utara, karena seharusnya, UU Pemekaran Daerah di Provinsi Maluku Utara juga menetapkan pembentukan Kota Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, namun sayangnya tidak terjadi. Hal ini cukup beralasan bila menelisik Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU Maluku Utara yang menjelaskan, “Yang dimaksud dengan Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara pada ayat ini adalah sebagian wilayah yang berada di Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah”.
Menurut para Pemohon, dengan dibentuknya UU Pemekaran Daerah di Provinsi Maluku Utara, berkonsekuensi bahwa secara tidak langsung/implisit Pembentuk UU menentukan kota Tidore Kepulauan yang di dalamnya terdapat wilayah Kecamatan Oba sebagai wilayah ibu kota provinsi, atau setidak-tidaknya pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara. Hal ini ditambah ketidakmanfaatan pemindahan kembali ibu kota provinsi di wilayah lain, karena sebagian besar sarana dan prasarana pemerintahan provinsi telah dibangun di Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan. Maka menurut para Pemohon, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa secara de facto, Kota Tidore Kepulauan merupakan pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara.
Memperkuat dalilnya, para Pemohon pun mendasarkan Laporan Akhir Kajian Akademis Kelayakan Pembentukan Kota Sofifi Provinsi Maluku Utara dengan judul: “Menuntaskan Konsensus Membangun Sofi” yang dilaksanakan oleh Departemen Politik 11 dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, disimpulkan bahwa: “pembentukan Kota Sofifi dibutuhkan namun saat ini belum memenuhi persyaratan yang ada, baik syarat politik, maupun syarat regulasi”.
Berdasarkan pertimbangan dalam penelitian tersebut, menurut para Pemohon, pembentukan daerah otonom baru di Sofifi sangat dipaksakan. Sehingga menurut para Pemohon, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa saat ini Sofifi tidak layak, dan menimbulkan ketidakpastian hukum atau berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum untuk diposisikan sebagai ibukota provinsi Maluku Utara.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menyatakan Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 juncto UU 6/2000 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibukota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Kota Tidore Kepulauan”.
Memperkuat Kedudukan Hukum
Sidang panel pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 54/PUU-XIX/2021 ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasihati para Pemohon agar menguraikan pasal-pasal dalam batu uji. Kemudian dalam kedudukan hukum, Enny meminta para Pemohon menjabarkan berbagai persoalan terkait pembentukan DOB Kota Sofifi, misalnya ada penjelasan DPRD atau Gubernur yang mempersoalkan kedudukan ibukota provinsi.
“Karena ada persoalan di level provinsi, bisakah Pemohonnya merangkul DPRD maupun Gubernur untuk dilibatkan sekaligus untuk mengajukan permohonan ini,” ujar Enny.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan para Pemohon agar memahami Peraturan MK (PMK) No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengujian Undang-Undang. PMK dimaksud dapat menjadi panduan dalam menyusun sistematika permohonan, termasuk di dalamnya terkait kedudukan hukum, posita hingga petitum.
Berikutnya Ketua Panel Hakim Wahiduddin Adams menasihati para Pemohon agar mempelajari putusan-putusan MK mengenai pembentukan DOB di sejumlah daerah. Senada dengan Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams juga menyarankan para Pemohon untuk melibatkan DPRD maupun Gubernur sebagai penyelenggara daerah. Karena hal itu berhubungan dengan kedudukan hukum para Pemohon.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.