BALI, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi pemateri dalam Kuliah Umum sekaligus serah terima Smart Board Mini Court Room kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dan Universitas Udayana (Unud), Bali pada Sabtu (23/10/2021). Kegiatan ini turut dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan 2015-2020 I Dewa Gede Palguna.
Dalam kuliah umum bertema “Pengujian Perpu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” ini Saldi mengatakan, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dalam sistem ketatanegaraan terdapat persoalan terminologi. Persoalan itu berkaitan dengan frasa “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, persidangan berikutnya, dan bagaimana kalau tidak mendapatkan persetujuan DPR.
“Jadi, perpu dalam sistem ketatanegaraan terdapat tiga persoalan yang perlu dikaji,” kata Saldi.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, frasa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 diukur melalui hak konstitusonal “subjektif” dari Presiden. Karenanya, ada yang mengidentikkan hal ini dengan hukum tata negara darurat subjektif.
Kemudian Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 mengenai masa sidang DPR berikutnya. Menurut Saldi, ketentuan ini dimaknai sebagai masa sidang yang dilakukan setelah perpu diterbitkan.
Sementara dalam Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 mengenai persetujuan DPR, menurut Saldi, penilaian perpu di DPR hanya berujung pada pilihan “setuju” atau “tidak setuju”. Apabila disetujui maka perpu akan menjadi UU. Sebaliknya, jika tidak disetujui, maka harus dicabut, sebagaimana ketentuan Pasal 52 ayat (6) UU 12/2011.
Pengujian Perpu
Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam ceramahnya menyampaikan dasar kewenangan pengujian perpu oleh MK yakni yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan ini, MK menyebutkan tiga syarat sebagai parameter “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan perpu.
Selain itu, Suhartoyo juga menjelaskan mengenai materi muatan perpu. Ia mengatakan, perpu sama dan sederajat dengan undang-undang (UU), namun syarat pembentukannya berbeda. Menurutnya, perpu merupakan satu-satunya peraturan yang dikeluarkan Presiden yang tidak untuk melaksanakan perintah UU. Untuk selanjutnya perpu tersebut harus diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR dan disahkan sebagai UU.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.