DENPASAR, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan Kuliah Umum “Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” secara hybrid pada Jumat (22/10/2021) di Universitas Warmadewa, Bali.
Enny memulai kuliah dengan menjelaskan kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia. “Mahkamah Konstitusi adalah buah manis reformasi. Seandainya saja tidak ada reformasi di Indonesia, mungkin saya tidak ada di sini, mungkin tidak ada juga Mahkamah Konstitusi. Mengapa demikian? Karena hal terkait pengujian undang-undang sebagai hal yang tidak mungkin terwujud sebelum reformasi,” ucap Enny.
Sejarah perlu dibentuknya MK di Indonesia bermula saat Mohammad Yamin dalam sidang BPUPK mengusulkan agar Balai Agung (Mahkamah Agung kala itu) diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju, karena UUD 1945 tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu.
Embrio MK
Selanjutnya pada awal reformasi 1998, ungkap Enny, diterbitkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 5 ayat (1) TAP MPR III/MPR/2000 menyebutkan, “MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan Ketetapan MPR.” Inilah yang menjadi embrio lahirnya MK di Indonesia. Karena belum lembaga pengujian undang-undang, maka kewenangan menguji undang-undang diserahkan kepada MPR. Meski pada akhirnya TAP MPR tersebut tidak diberlakukan lagi.
Kemudian pada perubahan UUD 1945 pada 1999-2002, gagasan membentuk MK di Indonesia kembali dilontarkan, hingga akhirnya dibentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan tentang hasil pemilu, memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dengan demikian, MK menjadi satu-satunya lembaga yang menjadi pengawal Konstitusi. MK juga penafsir akhir Konstitusi.
Selain itu, ujar Enny, MK memiliki kewenangan tambahan yaitu memutus perselisihan tentang hasil pikada. Hal ini sesuai Pasal 157 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menyatakan bahwa perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Enny melanjutkan, sebelumnya undang-undang yang dapat diujikan ke MK, hanya undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Pasal 50 UU MK menyebutkan undang-undang yang dapat diujikan ke MK adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Tetapi, Putusan MK No. 66/PUU-II/2004 menyatakan Pasal 50 UU MK bertentangan dengan undang-undang. Artinya, adanya putusan tersebut, MK membuat terobosan bahwa undang-undang apa pun dapat diujikan ke MK sepanjang masih berlaku. Terobosan berikutnya, MK dapat menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) karena kondisi kegentingan yang memaksa.
Pengujian UU
Terkait pengujian undang-undang terhadap UUD, kata Enny, terbagi menjadi pengujian formil yaitu yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kemudian ada pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya, ujar Enny, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat. Sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK.
Berikutnya, Enny menerangkan sistematika permohonan pengujian undang-undang yang memuat Identitas Pemohon serta uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi Kewenangan Mahkamah Konstitusi; Kedudukan hukum (legal standing); Alasan permohonan pengujian; Petitum. Lainnya, Enny menjelaskan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Lebih lanjut Enny menyinggung tahap persidangan di MK, mulai sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan.
Di samping itu, sambung Enny, dalam sidang pengujian undang-undang tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian undang-undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon,Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait. Bicara Putusan MK, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK. Selain itu Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara bersyarat.
Tidak Ada Lawan
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul lebih fokus untuk menjelaskan kewenangan MK melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD dan memutus perselisihan hasil pemilu. Disampaikan Manahan, MK hanya melakukan pengujian norma. “Ada Pemohon tetapi tidak ada lawan atau pihak tergugat. Pemerintah dan DPR hanya sebagai Pemberi Keterangan. Meskipun demikian, kalau tidak diperlukan keterangan dari Pemerintah dan DPR, sidang dapat terus berlangsung,” jelas Manahan yang juga menjelaskan MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara dan memutus pembubaran partai politik.
Selanjutnya, MK punya kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu. Manahan menyebutkan landasan Hukum Acara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Mulai dari Pasal 22E dan Pasal 6A UUD 1945, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Juga ada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
“Selain itu, Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilhan Umum, Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait dan Keterangan Bawaslu,” ungkap Manahan.
Sedangkan para pihak dalam Perselisihan Hasil Pemilu meliputi parpol dan perseorangan calon anggota DPR dan DPRD, perseorangan calon anggota DPD, partai politik lokal peserta pemilu untuk pengisian keanggotaan DPRA dan DPRK. Kemudian perseorangan calon anggota DPRA dan DPRK maupun Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu yang obyeknya penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari