JAKARTA, HUMAS MKRI – Kewenangan Komisi Yudisial (KY) melakukan seleksi hakim ad hoc tidak berasal dari perluasan frasa Hakim Agung dalam Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Kewenangan KY untuk melakukan seleksi hakim ad hoc muncul dari frasa wewenang lain. Pembentuk undang-undang bisa menentukan ruang lingkup wewenang lain tersebut selama kondisi norma yang dicapai adalah dalam rangka menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim.
Demikian disampaikan oleh Benny K. Harman saat bertindak sebagai ahli yang dihadirkan oleh KY (Pihak Terkait) dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Sidang perkara Nomor 92/PUU-XVIII/2020 ini diselenggarakan secara daring pada Kamis (21/10/2021) dari Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Benny K. Harman pada periode 2009-2014 adalah Ketua Komisi III DPR RI yang membidangi masalah hukum, HAM, dan keamanan. Ia terlibat langsung dalam pembentukan UU KY.
“Saya juga pada saat itu terlibat langsung secara intens dalam pembahasan Undang-Undang Komisi Yudisial, baik dalam kapasitas saya sebagai Ketua Komisi III maupun sebagai Ahli dalam membuat dan merumuskan beberapa poin kesepakatan di fraksi, khususnya fraksi Partai Demokrat yang saya wakili,” kata Benny dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
Selain itu, lanjut Benny, kewenangan KY dalam melakukan seleksi hakim ad hoc, juga muncul dari ketentuan Pasal 25 UUD 1945. Baik frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 maupun seleksi hakim pada Pasal 25 UUD 1945 ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
“Ahli menganggap ini sebagai sebuah open legal policy,” tambah Benny.
Lebih lanjut Benny memaparkan mengenai posisi KY dalam UUD 1945. Menurutnya, Panitia Pembentuk Perubahan UUD 1945 tidak menentukan hubungan hierarkis antara KY dengan Mahkamah Agung (MA).
“Jadi, Komisi Yudisial walaupun dia ‘membantu’, tetapi kata ‘membantu’ tidak berarti hubungannya lebih rendah dari Mahkamah Agung. Jadi, membantu dalam konteks untuk menegakan harkat, keluhuran, dan martabat hakim. Dengan demikian, perkataan organ, main organ, organ utama atau organ pembantu, auxiliary organ, sebetulnya tidak terkait dengan hubungan atas-bawah hubungan hierarkis antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Jadi, dua lembaga yang equal dengan fungsi yang berbeda-beda, yang diberikan oleh konsitusi,” terang Benny.
Selain itu, jelas Benny, pembentuk UU tidak bermaksud untuk membedakan fungsi Hakim Agung dan fungsi hakim ad hoc. Hakim Hakim Agung maupun hakim ad hoc mempunyai fungsi yang sama, mempunyai fungsi menentukan dalam memeriksa dan memutus perkara secara bersama-sama dan juga equal sebagai satu majelis. Jadi, hakim ad hoc tidak ada perbedaan dengan Hakim Agung. Kalaupun ada perbedaan antara keduanya, menurut Benny, perbedaan tersebut hanya berkaitan dengan aspek-aspek yang ada kaitannya dengan urusan administrasi, masa jabatan, dan tentu kekhususan dari kasus yang diperiksa dan hendak diputus.
Benny pun memaparkan dasar dibentuknya hakim ad hoc di MA. Saat pembahasan terjadi perdebatan tentang konsep hakim ad hoc. Ada satu pandangan yang mengusulkan hakim ad hoc adalah ahli hakim atau mereka yang mempunyai keahlian khusus dan diminta untuk memeriksa dan memutus kasus atau perkara yang hanya ada kaitannya atau jika ada kebutuhan akan keahlian yang mereka miliki. Status mereka tidak menetap di Mahkamah Agung. Namun, pada saat dilakukan pembahasan, ada yang khawatir dengan ide ini. Jika sistem ini diakomodir, maka akan ada kelompok atau orang yang dititipkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Oleh sebab itu, lanjut Benny, pada akhirnya hakim ad hoc di MA adalah mereka yang menangani semua perkara Tipikor yang masuk di tingkat kasasi dan tingkat peninjauan kembali. Jadi, usulan yang pertama tadi, tidak diakomodir, selanjutnya diakomodir yang usulan yang kedua.
“Jadi sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa perdebatan dan kesepakatan tersebut, perdebatan mengenai perlunya hakim ad hoc dan pada Mahkamah Agung dan tidak, pada saat itu sebetulnya juga tetap dalam kaitan dengan bagaimana menjaga independensi lembaga peradilan, khususnya dalam penanganan perkara di MA.
Peran KY
Menurut Benny, peran KY menjadi penting untuk memastikan seleksi Hakim Agung maupun hakim ad hoc berjalan dengan ideal. Maka KY juga diberi kewenangan untuk melakukan seleksi, tidak hanya Hakim Agung, tetapi juga hakim ad hoc. Sehingga hakim ad hoc dan Hakim Agung mempunyai fungsi dan punya peranan yang sama. Jadi, dengan demikian karena equal dan sama tadi perannya, kedudukannya, maka seleksinya juga harus sama.
Dikatakan Benny, permintaan seleksi berdasarkan kebutuhan terhadap Hakim Agung dan hakim ad hoc di MA. Dengan diaturnya seleksi Hakim Agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung itu pada satu norma, yaitu Pasal 13 UU KY, maka pada saat itu disepakati kebutuhan pengadaan hakim ad hoc dan hakim Agung ini oleh KY harus berdasarkan kebutuhan yang diajukan oleh MA.
Dengan demikian, menurut Benny, KY tidak boleh melakukan seleksi tanpa ada permintaan kebutuhan yang diajukan oleh MA. Benny pun menceritakan perdebatan yang cukup intens dalam perumusan norma ini.
“Dan pada saat itu, DPR memberi persetujuan atas usulan Calon Hakim Agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dari Komisi Yudisial. Jadi, perdebatannya juga begitu intens, begitu dalam pada saat itu, sehingga kemudian sepakat hakim ad hoc dan Hakim Agung harus diseleksi oleh Komisi Yudisial berdasarkan permintaan Mahkamah Agung,” tegas Benny.
---
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU KY ini diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan sebelumnya, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon mengatakan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Selain itu, aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, maka jelaslah bahwa Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu mendasarkan ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Penguji Kewenangan KY Perbaiki Kerugian Konstitusional
Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU KY Ditunda
Pemerintah, MA, dan KY Tanggapi Soal Kewenangan KY dalam Seleksi Hakim Ad Hoc
DPR: Hakim Ad Hoc di MA Dapat Disamakan Dengan Hakim Agung
Zainal Arifin Mochtar: Peran KY Diamanatkan untuk Mengusulkan Calon Hakim Agung
Ni’matul Huda: Pembentuk UU Berwenang Mengatur Rekrutmen Hakim Ad Hoc MA
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.