JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) pada Senin (18/10/2021). Sidang kedua dari perkara yang dimohonkan oleh Herifuddin Daulay yang berprofesi sebagai Guru Honorer SMK dari Dumai ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan M. P. Sitompul selaku dua hakim anggota lainnya. Sidang permohonan yang teregistrasi Nomor 50/PUU-XIX/2021 ini dilaksanakan di Ruang Sidang Panel MK dan diikuti secara daring oleh Pemohon.
Pada sidang dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan ini, Pemohon menjelaskan pokok perbaikan yang telah dilakukan. Perbaikan tersebut, di antaranya menambahkan norma yang diuji yakni UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, menjadikan pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan pengujian norma, menguraikan secara rinci hak-hak konstitusional Pemohon yang terlanggar dengan diberlakukannya kedua norma yang diujikan tersebut.
“Hak-hak konstitusional yang terlanggar ada hak sebagai bangsa untuk tidak dijajah oleh bangsa lain dan hak untuk teritori atau kedaulatan serta untuk norma yang diujikan ada UU Pemilu dan UU Kewarganegaraan,” jelas Herifuddin yang hadir tanpa didampingi oleh kuasa hukum.
Selain itu, pada permohonan kali ini Pemohon juga menuliskan secara terperinci sabab akibat kerugian pihaknya, baik faktual maupun potensial yang berkaitan dengan hak konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia. Pada sidang terdahulu, Pemohon mengungkapkan alasan permohonannya bahwa bangsa dan kebangsaan Indonesia telah mengalami banyak kehidupan, mulai dari kehidupan di bawah kekuasaan kerajaan, penjajahan oleh bangsa lain,pergerakan perjuangan kemerdekaan, hingga reformasi. Berpedoman pada Pembukaan UUD 1945, Pemohon menilai bahwa tujuan utama perjuangan kemerdekaan adalah agar bangsa Indonesia dapat memimpin dirinya sendiri termasuk pula di dalamnya presiden yang memimpin yang hanya dari Warga Negara Indonesia (WNI) berkebangsaan Indonesia asli.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai UU 7/2017 yang berlaku saat ini untuk memilih presiden dan wakil presiden belum mencerminkan sebagai perpanjangan tangan aturan-aturan dasar UUD 1945. Sehingga masih terdapat kesalahan-kesalahan yang kategorinya fatal karena menyelisihi konstitusi. Kesalahan-kesalahan ini menurut Pemohon bersifat fatal karena dapat menjadi celah kembalinya bangsa Indonesia dipimpin oleh bangsa lain namun berkewarganegaraan Indonesia.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim