MEDAN, HUMAS MKRI - Pada masa reformasi, salah satu tuntutan reformasi adalah amendemen UUD 1945. Sebelum amendemen dilakukan, UUD 1945 sangat supel, simpel, dan fleksibel. Oleh karena itu, diperlukan perubahan akibat dari latar belakang kekuasaan oleh MPR yang dinilai tidak cocok dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian, perlu pula dilakukan perubahan tatanan kehidupan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amendemen UUD 1945 dilakukan dengan catatan tidak diperkenankan mengubah Pembukaan UUD 1945. Sebab, di dalamnya termuat tujuan negara dan rumusan dasar negara. Proses amendemen UUD 1945 pun dilakukan mulai perubahan pertama sampai perubahan kempat pada 1999-2002.
Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dalam Kuliah Umum sekaligus peresmian Mini Court Room di Universitas Sumatera Utara (USU) pada Sabtu (16/10/2021). Kegiatan bertema “Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara (Masyarakat Indonesia) di Masa Pandemi” ini dihadiri secara luring oleh Dekan FH USU Mahmul Siregar, dan dihadiri secara daring oleh Rektor USU Muryanto Amin serta sejumlah sivitas akademika dari jenjang S1, S2, dan S3 FH USU.
Dengan amendemen tersebut, lanjut Manahan, terjadilah perubahan pada batang tubuh UUD 1945. Sebelum perubahan, batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab dan 37 pasal. Setelah perubahan, UUD 1945 terdiri 21 bab, 73 pasal dengan 170 ayat serta terdapat pula 2 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan. Di dalam norma hasil amendemen ini, tatanan negara, hak-hak warga negara (masyarakat Indonesia) menjadi semakin kompleks.
“Dari amendemen inilah ada nama lembaga Mahkamah Konstitusi yang menjadi bagin dari anak kandung reformasi dengan keberadaannya dipertegas pada Pasal 24C UUD 1945 dengan kewenangannya yang disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,” sampai Manahan dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Dosen FH USU Afilla dari Kampus USU, Medan.
Berkaitan dengan kewenangan MK dengan situasi masa pandemi Covid-19 yang terjadi di dunia dan Indonesia, maka sebagai lembaga peradilan hak konstitusionalitas MK harus tetap memikirkan cara untuk tetap memfasilitasi penanganan perkara hukum yang diajukan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, MK dalam perannya turut melaksanakan setiap kebijakan yang ditentukan pemerintah guna memutus mata rantai gejolak pandemi Covid-19. Salah satunya, MK menerapkan semaksimal mungkin untuk menggelar persidangan daring dan jika pun dilakukan persidangan luring, maka diterapkan pelaksanaan protokol kesehatan.
Pengujian Perpu
Sebagai gambaran hal tersebut di atas, Manahan menyebutkan saat pandemi Covid-19 Pemerintah mengeluarkan Perpu 1/2020. Berbagai pihak menguji Perpu tersebut ke MK dan MK pun menggelar beberapa kali sidang. Beberapa pihak juga ada yang mencabut permohonan pengujian saat Perpu 1/2020 telah menjadi UU Nomor 2/2020.
Berkaitan dengan adanya pengujian Perpu yang dimohonkan ke MK, Manahan menjelaskan bahwa kewenangan ini sejatinya menjadi sebuah kewenangan tambahan yang diberikan kepada MK. Sebab, Perpu adalah sebuah norma yang dapat dibuat atau diajukan oleh Presiden karena kemendesakan dari keadaan negara.
“Dengan adanya permohonan Perpu ini ke MK, kemudian para hakim konstitusi yang harus membuat formula akan bagaimana konstitusionalitas norma yang diujikan tersebut,” sampai Manahan.
Selain Manahan, hadir juga pemateri lain yakni Dosen Hukum Tata Negara FH USU Faisal Akbar Nasution dengan pemaparan berjudul “Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Bidang Kesehatan Pasca-Lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”. Usai kedua pemateri menjelaskan poko pembahasan, para peserta kuliah umum diberikan kesempatan mengajukan pendapat, pertanyaan, dan masukan atas materi yang berhubungan dengan pokok pembahasan yang diulas para pemateri.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.