JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang yang paling banyak diuji di MK adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selain itu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD.
Hal tersebut disampaikan Panitera MK Muhidin pada Jumat (15/10/2021) di Universitas Andalas (Unand), Padang dalam rangka Dies Natalis ke-70 Unand sekaligus peresmian smart board minicourt di Unand sebagai fasilitas persidangan jarak jauh yang canggih dan modern.
Dikatakan Muhidin, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dibentuk pada 13 Agustus 2003. Pada 2004 MKRI melaksanakan kewenangannya menangani perkara perselisihan hasil pemilu. Bagi MKRI, ini menjadi tantangan tersendiri, pertama kali menangani perkara perselisihan hasil pemilu dan harus diselesaikan dalam waktu yang cepat atau speedy trial.
“Perkara-perkara perselisihan pemilu harus diselesaikan paling lama 14 hari kerja. Ini menjadi satu pengalaman yang tak terlupakan,” kenang Muhidin.
Muhidin menjelaskan latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pasal 24 UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Namun setelah perubahan UUD 1945, ungkap Muhidin, disebutkan adanya kekuasaan kehakiman lainnya selain Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Muhidin melanjutkan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,” urai Muhidin yang menyampaikan materi “Problematika Teknis-Juridis Administrasi Pengujian Undang-Undang”.
Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Lebih lanjut Muhidin memaparkan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, sesuai Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009. Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Lainnya, semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang. Selain itu, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Selanjutnya, Muhidin menerangkan kewenangan MK sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 (1) dan (2) UU MK, Pasal 29 (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mulai dari kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, hingga memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. Di luar semua kewenangan MK tersebut, masih ada kewenangan tambahan MK yakni menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal ini sesuai dengan Pasal 157 ayat (3) UU No. 10/2016 (UU Pilkada), “Mahkamah berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”
Berikutnya, Muhidin menyebutkan asas peradilan MK yang meliputi ius curia novit (pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara); persidangan terbuka untuk umum; independen dan imparsial; peradilan cepat, sederhana, bebas biaya; audi et alteram partem (hak untuk didengar secara seimbang); hakim aktif dalam persidangan; praesumtio iustae causa (praduga keabsahan); final dan mengikat; erga omnes (berlaku untuk semua pihak); self implementing/executing (implementasi putusan bersifat langsung).
Data PUU Sejak 2003
Hal lainnya yang tak kalah penting adalah data perkara pengujian undang-undang (PUU) di MK sejak 2003-2021. Hingga 7 Oktober 2021, sebanyak 1.484 perkara PUU tercatat di MK, kemudian sekitar 382 undang-undang yang diuji di MK, serta sebanyak 1.442 putusan telah dijatuhkan MK.
Mengenai undang-undang yang paling banyak diuji di MK, ungkap Muhidin, adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebanyak 70 kali pengujian, kemudian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebanyak 64 kali pengujian. Setelah itu UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebanyak 39 kali pengujian. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebanyak 38 kali pengujian. Juga UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD sebanyak 36 kali pengujian.
Terkait penanganan perkara PUU di MK terdiri atas pengajuan permohonan Pemohon, pencatatan permohonan dalam e-BP3, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pemberitahuan APKBP disertai DHPKP2, pemenuhan kelengkapan dan perbaikan permohonan, penyampaian laporan permohonan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), pencatatan permohonan dalam e-Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), penyampaian salinan permohonan, pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait, pemberitahuan sidang kepada para pihak, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, pelaksanaan RPH pembahasan perkara, pengucapan putusan, penyerahan salinan putusan.
Problematika Teknis Administrasi Peradilan
Kondisi lain yang kemungkinan dapat terjadi adalah problematika teknis administrasi peradilan. Bahwa tidak semua orang memahami pengajuan permohonan secara online melalui simple.mkri. Di samping itu, ada Pemohon yang tidak serius untuk mengajukan permohonan sehingga MK perlu melakukan klarifikasi dan konfirmasi kepada Pemohon.
Sedangkan pada pengajuan secara offline, kadang terjadi Pemohon yang mengajukan permohonannya di luar jam kerja atau jam pelayanan (08.00 - 15.00 WIB), sehingga petugas penerima tidak mengetahui secara langsung ada Pemohon yang akan mengajukan permohonan.
Mengenai persidangan jarak jauh, diselenggarakan atas inisiatif Mahkamah atau berdasarkan permintaan para pihak setelah memperoleh persetujuan dari Mahkamah. Pemberitahuan untuk melakukan persidangan jarak jauh, 2 hari sebelum sidang. Menggunakan juru sumpah dari pengelola vicon di masing-masing kampus dan melibatkan pengamanan dari kepolisian setempat dan/atau petugas keamanan kampus.
Khusus PUU formil, jangka waktu pengajuan permohonan adalah 45 hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara (Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009). Jangka waktu penyelesaian perkara PUU formil paling lama 60 hari kerja sejak perkara diregistrasi (Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019).
Mengenai teknis penanganan perkara PUU, Muhidin berharap agar perlu segera menyusun prosedur dan tata beracara dalam pengujian formil dan materiil undang-undang; perlu segera menyusun pedoman teknis dalam penanganan perkara pengujian undang-undang; perlu segera megusulkan revisi UU MK untuk penyempurnaan pengaturan mengenai hukum acara; perlu adanya kepastian pembentukan badan peradilan khusus yang menangani perkara pilkada.
Kemudian terkait sumber daya, agar ada peningkatan kompetensi SDM Kepaniteraan; penataan dan konsolidasi untuk penguatan organisasi kepaniteraan; sistem informasi penanganan perkara yang terintegrasi; optimalisasi pemanfaatan IT dalam penanganan perkara. Menyinggung tata kelola peradilan modern, mencakup enlightened judges (hakim-hakim yang tercerahkan), pengelolaan administrasi yang modern, pengembangan sumberdaya manusia, sistem informasi hukum berbasis IT. Hal ini seperti dikatakan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dikutip dari laman hukum online.com.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P