JAKARTA, HUMAS MKRI – Hukum materiil atau hukum yang bersifat substantif hanya dapat ditegakkan melalui hukum formil atau hukum acara yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara atau para pencari keadilan. Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat menyampaikan ceramah kunci dalam acara peresmian Smart Board Mini Court Room pada Jumat (15/10/2021) siang di Universitas Andalas (Unand), Padang. Kegiatan yang terselenggara atas kerja sama antara MK dengan Unand ini juga dalam rangka Dies Natalis ke-70 Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand).
“Hukum acara dapat diibaratkan sebagai jembatan bagi pihak yang berperkara menuju keadilan yang hendak dicapai. Tanpa hukum acara yang memberikan kepastian hukum yang adil, maka tidak mungkin hukum materiil dapat ditegakkan,” ujar Anwar dalam acara yang dihadiri Wakil Rektor I Unand Mansyurdin, Dekan FH Unand Busyra Azheri, Wali Nagari Pasia Laweh Zul Arifin, para petinggi Unand, serta para akademisi yang berlangsung secara hybrid.
Pedoman Pihak Berperkara
Anwar mengungkapkan, belum ada undang-undang yang bersifat khusus yang mengatur Hukum Acara MK. Guna melengkapi ketentuan Hukum Acara MK dalam UU MK, maka disusunlah Peraturan MK (PMK) tentang Hukum Acara yang tidak bersifat formil. Baik PMK lama dan PMK baru tentang Hukum Acara sifatnya hanyalah pedoman, panduan bagi para pihak yang berperkara.
“Bahkan dalam beberapa situasi tertentu, tidak menutup kemungkinan Majelis Hakim harus melakukan musyawarah untuk mengambil jalan atau langkah tertentu, manakala perkembangan di dalam persidangan membutuhkan hal yang baru, sesuai dengan dinamika persidangan. Sesungguhnya di sinilah letak ciri dan karakteristik dari Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,” urai Anwar.
Anwar melanjutkan, secara teoritik sesungguhnya hukum acara merupakan produk dari law making proccess atau menjadi tangung jawab pembentuk undang-undang di lembaga legislatif. Namun secara teoritik pula, perkembangan hukum acara dalam praktik juga memiliki basis legal reasoning yang dapat dibenarkan. Idealnya, menurut Anwar, seharusnya keduanya dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi dalam rangka mewujudkan kepastian hukum yang adil bagi para setiap warga negara yang berusaha untuk mencari keadilan.
Hal yang perlu dipahami dan dimaklumi dalam memahami Hukum Acara MK, sambung Anwar, tugas MK adalah mengawal dan menegakkan Konstitusi. Artinya, hukum materiil yang harus dijaga dan dikawal adalah norma yang setingkat dengan Konstitusi. Secara teoritik, sesungguhnya hukum formil yang digunakan untuk menegakkan hukum materiil, seharusnya sepadan dan setingkat dengan hukum materiilnya.
“Tetapi tentu kita memahami bahwa tidaklah mungkin suatu Konstitusi akan mengatur suatu hukum acara yang bersifat rinci dan rigid. Oleh karena itu, beberapa kalangan berpandangan bahwa pengaturan Hukum Acara MK melalui PMK dan perkembangannya melalui putusan-putusan MK menjadi suatu ciri dan karakteristik yang melekat dalam kelembagaan peradilan Konstitusi,” tandas Anwar.
Tidak Detail
Acara berlanjut dengan Kuliah Umum “Mahkamah Konstitusi dan Karakter Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” yang disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Mengenai perkembangan Hukum Acara MK, Saldi menuturkan bahwa dalam UU MK sejak 2003 hingga UU MK saat ini yang telah tiga kali direvisi, pembahasan mengenai Hukum Acara MK sangat terbatas dan tidak detail.
Lalu erjadi diskusi para pakar hukum, kalau Hukum Acara MK tidak diatur secara detail, maka dapat bermasalah. Oleh karena itu, ujar Saldi, sejak lama sudah ada pemikiran untuk membuat UU tentang Hukum Acara MK.
“Dalam UU MK ada hukum acara yang umum dan khusus masing-masing kewenangan, tetapi tidak bisa lagi menjembatani kepentingan beracara di MK. Maka sebagiannya sekarang, ditumpukkan pada Peraturan MK. Bahkan begitu Peraturan MK diberlakukan, tiba-tiba ada perkembangan baru dalam hukum acara. Kami menggunakan klausul sepanjang tidak diatur, bisa berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim. Termasuk yang terakhir, bagaimana mengadopsi persidangan di masa pandemi,” papar Saldi.
Dijelaskan Saldi, jauh sebelum pandemi Covid-19, MK sudah menyediakan sarana untuk sidang jarak jauh. MK bekerja sama dengan beberapa kampus di Indonesia menyediakan ruang video conference (vicon). Namun demikian, kata Saldi, pemanfaatan vicon tidak terlalu dimanfaatkan oleh para mahasiswa hukum, termasuk di Unand. Kenapa demikian?
“Karena sistem hukum kita yang menyebabkan para mahasiswa tidak terlalu peduli soal putusan-putusan pengadilan. Pengaruh Eropa Kontinental yang begitu kuat kepada sistem hukum kita, yang berpengaruh pada proses pembelajaran, para mahasiswa lebih banyak membaca peraturan perundang-undangan sehingga menganggap tidak terlalu penting mempelajari putusan-putusan pengadilan,” tegas Saldi.
Padahal menurut Saldi, perkembangan saat ini di Indonesia, di atas kertas masih membedakan sistem hukum di berbagai negara. Bahkan di banyak negara, dewasa ini putusan pengadilan menjadi sumber utama. Sedangkan sistem hukum Indonesia sekarang, menurut Saldi, sebetulnya sudah mengarah ke sana.
“Tapi kampusnya belum bergerak ke arah itu,” tandas Saldi.
Pengejawantahan Hukum Acara MK
Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam paparannya mengatakan peresmian Smart Board Mini Court Room di Unand adalah bagian dari pengejawantahan Hukum Acara MK. Sejak 2009 MK sudah menjalankan sidang jarak jauh melalui vicon.
“Esensi yang paling mendasar, sidang melalui vicon merupakan semangat yang luar biasa dari MK yang ingin menjangkau seluruh elemen masyarakat. Khususnya pencari keadilan yang sedang ‘teraniaya’ hak-hak konstitusionalnya,” kata Suhartoyo.
Oleh sebab itu, lanjut Suhartoyo, penggunaan vicon dalam persidangan MK dan sekarang ditegaskan melalui pemanfaatan alat baru berupa Smart Board Mini Court yang lebih modern dan canggih, hal ini semakin menegaskan peran MK dalam memberikan kemudahan akases bagi para pencari keadilan yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya sebuah undang-undang.
Lebih lanjut, Suhartoyo menerangkan kekhasan persidangan di MK. Misalnya, bersidang MK tanpa dipungut biaya.
“Karena beracara di MK memang tidak boleh dipungut biaya, berbeda dengan di peradilan umum yang sifatnya privat dan membutuhkan biaya,” terang Suhartoyo.
Selain itu, kata Suhartoyo, beracara di MK tidak harus menggunakan kuasa hukum atau advokat. Pemohon bisa hadir sendirian dalam persidangan. Bahkan, berperkara di MK boleh menggunakan pendamping.
“Jadi kalau ada pemohon prinsipal yang mau maju sendiri bersidang di MK, tanpa menggunakan kuasa hukum, tapi ingin didampingi orang yang tahu Hukum Acara MK, maka hal ini diperbolehkan, sepanjang pendampingan memberikan keberdayaan dalam beracara, hal ini boleh,” jelas Suhartoyo.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.