JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), pada Kamis (14/10/2021) secara daring dari Ruang Sidang Pleno MK. Sidang gabungan tiga perkara yakni perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020, Nomor 96/PUU-XVIII/2020, dan perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dalam persidangan dengan agenda mendengar keterangan Ahli dan Saksi, Pemohon perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 menghadirkan seorang Ahli, Alexius Andang Listya Birawan dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan seorang Saksi, Muhammad Ichsan dari Indonesian Parliamentary Center (IPC).
Alexius Andang Listya Birawan yang akrab dipanggil Romo Andang mengatakan, pada dasarnya hukum dibuat sebagai sarana pembatasan kekuasaan, tentunya kekuasaan manusia. Pembatasan kekuasaan ini menjadi prasyarat penting agar cita-cita keadilan dalam hukum bisa diupayakan. Keadilan yang terukur dan objektif yang tidak dibelokkan oleh subjektivitas menjadi kebutuhan masyarakat yang makin plural.
Lebih lanjut Romo Andang mengatakan, sudah jamak diketahui orang bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk kebaikan hidup bersama dengan mengingat adagium salus populi suprema lex esto, baru bisa berfungsi jika ditempelkan pada manusia tertentu. Tetapi kita juga tahu tidak ada manusia yang sempurna. Ketika kesempurnaan manusia memberi celah penyalahgunaan kekuasaan, itu bukan untuk kepentingan hidup bersama melainkan untuk kepentingan pemegang kekuasaan itu sendiri.
“Untuk menutup celah itu dibuatlah hukum atau aturan, supaya kepentingan subjektif pemegang kekuasaan diminimalkan, sehingga yang objektif yang bisa lebih dominan,” jelas Andang.
Keuntungan Pribadi
Menurut Andang, jika kekuasan itu ditentukan oleh hukum agar tidak disalahgunakan, ada ketentuan yang rinci tentang kekuasaan itu. Mengingat bahwa hukum dirumuskan dalam kalimat dan kalimat adalah bahasa dan bahasa bisa multitafsir, perlu aturan pendukung untuk menjamin objektivitasnya. Objektivitas itu penting agar dapat diterima oleh pemangku hukum, yaitu masyarakat itu sendiri.
Andang menjelaskan, istilah hukum acara atau norma untuk mengatur proses adalah aturan pendukung agar kepentingan bersama (baca bonum commune, atau common good, atau dalam bahasa adagium tadi, salus populi) benar-benar dikedepankan. Karena tujuan ini, prosedur yang objektif dengan melibatkan pemangku utama hukum menjadi conditio sine qua, syarat yang tidak bisa tidak.
“Dari kacamata atau premis mayor ini dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa hukum yang disahkan yang memuat keuntungan untuk dirinya sendiri pantas diragukan objektivitasnya. Setidaknya, potensi tergerusnya kesejahteraan umum sebagai tujuan hukum, baik itu hukum primer maupun hukum sekunder, tampak di depan mata,” paparnya.
Potensi itu, tambah Andang, makin tampak dalam indikasi penafian partisipasi publik dalam proses legislasi hukum. Apalagi jika hukum yang dibuat mau disebut sebagai hukum modern. Hukum modern adalah hukum dari hasil kompromi dari berbagai kepentingan dan kompromi gagasan keadilan. Meski kompromi gagasan keadilan dalam hukum membuat cita-cita hukum bersifat minimal tetapi hukum tetap dijunjung tinggi dan bernilai keadilan terhadap dirinya. Sehingga partisipasi seluruh elemen masyarakat dilibatkan dalam proses legislasi.
Andang juga menegaskan, esensi keadilan adalah penghargaan dan pengakuan akan eksistensi suatu individu atau kelompok. Minimnya penghargaan dan pengakuan ini dalam bentuk pelibatan dalam proses legislasi, membuat harga suatu hukum semakin rendah atau minim.
Di samping itu, sambungnya, banyak orang mengetahui kaitan erat antara hukum, hakim, dan hikmat yang berakar pada kata hakama dalam Bahasa Arab. Sederhananya, kaitan itu tampak dalam cita-cita bahwa hukum yang terdiri dari kalimat itu akan memberi jaminan keadilan yang notabene berarti kesejahteraan umum, jika dihidupkan oleh hakim yang mempunyai hikmat atau kebijaksanaan. Dalam hal ini, hikmat pada hakim adalah keluasan cakrawala tentang makna, isi, serta langkah-langkah atau proses menuju ke kesejahteraan bersama.
“Hukum adalah sarana. Hukum adalah sarana pendukung. Itu berarti bahwa dalam diri seorang hakim dibutuhkan kapasitas atau kemampuan untuk mengambil jarak dari kepentingannya sendiri, agar bisa mengedepankan kepentingan bersama. Selain itu, hikmat yang terkait dengan kesejahteraan bersama, pasti jauh lebih luas daripada yang terumus pada kalimat-kalimat hukum. Karena itu logikanya pun sederhana,” jelas Andang.
Draf RUU
Pada kesempatan yang sama, Muhammad Ichsan dari Indonesian Parlementary Center (IPC) mengatakan, dari tahun 2005 IPC telah melakukan pengawasan terhadap kinerja DPR RI melalui metode pengumpulan dokumen yang disediakan pada kanal resmi, hingga menghasilkan laporan pemantauan secara berkala.
Ichsan memaparkan pengumpulan dokumen selama tahun sidang 2019 hingga 2020, ditambah masa sidang I tahun 2020 hingga 2021. Sebelum itu, pemantauan terakhir, pemantauan pada tahap pembicaraan tingkat II rapat paripurna, pada 1 September 2020 dengan agenda Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. “Kami menemukan sejumlah dokumen seperti adanya risalah rapat dan laporan fraksi. Namun, pada halaman sileg yang kami maksud di awal, tidak dapat kami akses atau tidak kami temukan draf RUU dan draf naskah akademik final yang dibawa ke rapat paripurna. Sedangkan untuk publikasi ulang, kami temukan di halaman YouTube resmi DPR RI,” kata Ichsan.
Selanjutnya Ichsan memaparkan temuannya di masa sidang dan tahun sidang tersebut. Pihaknya telah mengumpulkan sejumlah dokumen laporan singkat berkaitan dengan Komisi III dan badan legislasi yang memiliki keterkaitan dengan RUU ini.
“Jadi, dari total 141 dokumen laporan singkat yang berhasil kami kumpulkan dari website DPR RI, kami tidak menemukan adanya rapat-rapat yang mengundang masyarakat ataupun ahli yang berkaitan dengan pandangannya berkaitan dengan RUU tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi ini,” ungkapnya.
Untuk diketahui, permohonan perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pemohon menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Pemohon berpandangan bahwa proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai undang-undang pelaksana dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Pemohon menilai ketentuan yang ada pada Pasal 15 ayat (2) huruf d terkait perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata. Bahkan menurut Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 sehingga pembentuk undang-undang justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum atas ketentuan norma ini.
Sementara itu, permohonan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Priyanto yang berprofesi sebagai advokat. Ia mendalilkan Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945. Menurutnya, pada norma tersebut telah mengubah persyaratan mejadi hakim konstitusi dari usia minimal 47 tahun menjadi 55 tahun dan tanpa adanya batas usia maksimal. Selain itu, pada norma ini juga termuat sedikit perubahan terkait dasar sarjana strata satu yang berlatar pendidikan bidang hukum. Sebelumnya persyaratan ini diperuntukkan baik strata satu maupun magister pun harus berlatar belakang bidang hukum. Dalam pengakuan Pemohon, dirinya bermaksud untuk menjadi hakim konstitusi mengingat dirinya memenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Namn dengan adanya perubahan UU MK ini, maksud dari Pemohon terkendala dan bahkan tidak mungkin terwujud nantinya.
Berikutnya, permohonan Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh para peneliti dan dosen. Para Pemohon yaitu R. Violla Reinida Hafidz, M. Ihsan Mualana, Rahmah Mutiara, Korneles Materay, Beni Kurnia Ilahi, Giri Ahmad Taufik, dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1). Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon mengatakan pembentuk undang-undang telah melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Menurut para Pemohon, revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over karena pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Menurut Pemohon, revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Selain itu, Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid. Sedangkan untuk pengujian materil, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul. Para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambah pula para Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.
Baca juga:
UU MK Dianggap Tutup Kesempatan Pemohon Jadi Hakim Konstitusi
Sejumlah Peneliti dan Dosen Uji Formil Pembentukan UU MK
Dua Ahli Pemohon Paparkan Pendapat Soal Perubahan Ketiga UU MK
Perubahan Ketiga UU MK Menurut I Gde Pantja Astawa dan Zainal Arifin Mochtar
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.