JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi pemateri pada hari kedua kegiatan Bimbingan Teknis Hukum Acara Pengujian Undang-Undang yang diselenggarakan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi bagi Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (IKA FH Undip) pada Rabu (13/10/2021). Dalam presentasi berjudul “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”, Arief memperkenalkan bahwa sejarah keberadaan Mahkamah Konstitusi secara formal pertama kali dikenalkan oleh Hans Kelsen.
Menurutnya pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin jika suatu organ selain badan legislasi diberi tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional. Oleh karena itu, sambung Arief, perlu dibentuk organ khusus yakni Mahkamah Konstitusi. Selajutnya di Indonesia sendiri, kata Arief, ide membentuk MK telah ada sejak berdirinya negara Indonesia yang diajukan oleh M. Yamin. Namun situasi pada saat tersebut tidak mendukung hingga kemudian setelah reformasi dan amendemen UUD 1945, MKRI lahir pada 13 Agustus 2003.
“Sehingga kalau dlihat sekarang, MK sudah berusia 18 tahun. Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MA dan badan peradilan di bawahnya serta MK,” kata Arief di hadapan sejumlah 249 orang peserta bimtek yang terdiri atas advokat, pegawai lembaga negara dan daerah, enterpreneur, organisasi masyarakat, dan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam IKA FH Undip.
Dalam fungsi lembaga, Arief menjabarkan bahwa MK sering disebut sebagai the guardian of constitution. Dalam fungsi ini, MK melakukan pengujian karena berkaitan dengan konsisten, koheren, dan korespondensi undang-undang. Sebab, kata Arief, undang-undang dibentuk yang dibentuk secara organik yang muatannya telah ada pada konstitusi. Berikutnya ada pula undang-undang yang dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Kemudian, dalam fungsinya, MK juga dikenal juga sebagai the final interpreter of constitution. Dalam hal ini, jelas Arief, MK sering membuat interpretasi pada undang-undang yang menjadi produk pembuat undang-undang. Sejalan dengan interpretasi undang-undang ini, Arief mengatakan bahwa MK dari 18 tahun masa kerjanya telah menggelar 1.435 perkara. Dari sekian perkara tersebut, perkara yang dikabulkan oleh MK terhadap UU yang dinyatakan inkonstitusional tidak sampai 5%. Dari hal ini, Arief melihat bahwa indikator demikian menunjukkan bahwa masyarakat telah melek hukum. Sebab, jika merasakan adanya hak konstitusional mereka (dalam hal ini warga negara) yang dirugikan maka telah banyak perorangan yang juga mengajukan pengujian undang-undang (PUU).
“Oleh karena itu, kepada IKA FH Undip yang berasal dari berbagai profesi, diharapkan bisa mengerti dan memahami bahwa norma yang diujikan dan hanya dikabulkan maksimal hanya 5% dari yang masuk. Sehingga UU yang dibuat oleh pembuat undang-undang telah konsisten, koheren, dan korespondensi dengan konstitusi,” jelas Arief.
Mencari Jawaban
Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (Periode 2003 – 2008 dan 2015 – 2020) dihadirkan sebagai pemateri yang mengulas secara detail terkait “Penafsiran Konstitusi”. Menurut Palguna, penafsiran konstitusi berkaitan dengan metode dan strategi bagi pihak-pihak yang berusaha memecahkan perselisihan yang berkaitan dengan pengertian atau penerapan konstitusi. Oleh karena itu, penafsiran konstitusi tersebuttak sekadar mencocokkan suatu peristiwa, hal, atau keadaan tertentu dengan pasal dalam konstitusi. Melainkan bermakna pencarian jawaban atas pertanyaan bagaimana seseorang memandang konstitusi dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
“Dengan demikian, penafsiran konstitusi berhubungan dengan mekanisme untuk memastikan apakah konstitusi telah benar-benar dilaksanakan dalam praktik sesuai dengan pengertian yang terkandung di dalamnya serta tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dalam konsitusi tersebut,” jelas Palguna.
Pengimbangan Kekuasaan
Berikutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra dihadirkan untuk memberikan materi terkait Hukum acara PUU. Bahwa konsep besar dari PUU dalam pandangan Sldi hadir sebagai konsekuensi dari konteks hubungan antarlembaga dalam suatu negara. Dalam sebuah konstitusi di mana pun, setidaknya di dalamnya memuat susunan mengenai lembaga yang ada pada sebuah negara yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan teori hukum tata negara, lembaga-lembaga negara tersebut setidaknya terdiri atas lembaga legislatif, eksekutif, dan yudusial (atau disebut juga trias politika). Dalam hal ini, Saldi mencontohkan pelaksanaan konstitusi Amerika Serikat yang dibuat oleh parlemen atau kongresnya. Bahwa di AS sendiri otoritas membentuk hukum termasuk undang-undang berada pada lembaga perwakilan pada parlemen.
“Namun ini tidak berarti presiden/eksekutif tidak berperan dalam merancang suatu norma. Sebab, dalam praktik kenegaraan 99% rancangan norma ada pada badan eksekutif karena badan inilah yang memerlukan undang-undnag untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari,” jelas Saldi.
Berbeda halnya dengan Indonesia, sambung Saldi, dalam konteks pengimbangan kekuasaan negara dalam konstitusi maka yang membentuk undang-undang adalah lembaga legislatif. Sejatinya, di dalam lembaga atau badan tersebut telah pula terdapat pengawas internal. Akan tetapi untuk pelaksanaan upaya pengimbangan pengawasan dan kekuasaan pemerintahan, maka dibentuklah lembaga yudisial sebagaimana Mahkamah Konstitusi. Dalam kewenangannya, MKRI salah satunya memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Dan dalam perkembangan dan konteks yang sama, MK juga berwenang untuk menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Hal ini dikarenakan Perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan undang-undang.
Untuk diketahui, kegiatan ini akan digelar selama empat hari mulai dari Selasa hingga Jumat mendatang (12 – 15/10/2021). Penyelenggara kegiatan ini akan menghadirkan para pembicara ahli dengan berbagai bahasan materi, di antaranya Hakim Konsitusi Arief Hidayat yang akan membahas mengenai “Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (Periode 2003 – 2008 dan 2015 – 2020) yang akan mengupas tuntas materi tentang “Penafsiran Konstitusi”, dan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang akan menjelaskan materi tentang “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945”. Selain itu, para peserta juga akan diberikan kesempatan untuk melakukan praktik dalam kegiatan Teknik Penyusunan Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, baik dalam kelompok maupun secara mandiri dengan didampingi oleh para peneliti dan panitera pengganti (PP) dari Mahkamah Konstitusi. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P