JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membuka kegiatan Forum Group Discussion (FGD) yang bertema “Urgensi Merancang Undang-Undang dan Memperkuat Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” pada Rabu (13/10/2021) di Aula Gedung MK. Kegiatan tersebut digelar secara daring dan luring dengan narasumber Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan 2015-2020 I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi periode 2003-2009 Maruarar Siahaan dan Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan 2009-2013 Harjono. Sebagai penanggap diskusi adalah Ahli Hukum Tata Negara Muchamad Ali Safa’at, Heru Widodo, dan Andi Asrun.
Dalam kegiatan tersebut, Anwar mengatakan, Hukum Acara MK sejak MK berdiri pada tahun 2003, diatur secara umum di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Kemudian pengaturannya secara lebih rinci, diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
“Ikhtiar dan pembahasan tentang pentingnya mengatur kembali Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan penempatannya dalam undang-undang tersendiri, telah dilakukan beberapa kali. Namun, pembahasan tersebut tidak bermuara kepada diaturnya secara khusus Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di dalam suatu undang-undang tersendiri,” terang Anwar yang juga didampingi Wakil Ketua MK Aswanto dan para Hakim Konstitusi.
Dikatakan Anwar, perkembangan tentang Hukum Acara MK justru terjadi melalui praktik persidangan dan putusan yang dikeluarkan oleh MK sendiri. Hal ini, sambung Anwar, bahkan telah dilakukan oleh Hakim Konstitusi pada generasi awal, hingga saat ini.
Anwar mengungkapkan, perkembangan tentang Hukum Acara MK melalui praktik dan putusan, sesungguhnya bukan merupakan kehendak MK, melainkan untuk mengisi kekosongan hukum di dalam praktik, dan bahkan untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara. Anwar mencontohkan, pada mula MK pertama berdiri dan diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat satu norma Pasal yang melarang UU yang dapat dimohonkan untuk diuji ke MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 dilaksanakan (Perubahan 1999–2002). Ketentuan norma ini tentu berangkat dari suatu prinsip hukum bahwa hukum harus bersifat prospektif dan bukan retroaktif.
Namun, menurut Anwar, ketentuan norma ini tentulah bertentangan dengan semangat dibentuknya MK, yaitu untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara dari berlakunya suatu UU yang bertentangan dengan UUD. Padahal, keberlakuan suatu UU yang lahir sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945, tidak tertutup kemungkinan dapat pula melanggar hak konstitusional warga negara. Jika keberlakuan norma ini tetap ada, maka tentu saja di dalam hukum acara PUU, ketentuan ini menjadi syarat formil bagi Pemohon untuk melakukan pengujian UU. Oleh karena itu, sejak 2004 norma ketentuan Pasal ini telah dibatalkan oleh MK melalui Putusan Nomor 066/PUU-II/2004.
Lebih lanjut Anwar mengatakan, hal lain yang cukup penting di dalam proses hukum acara Pengujian UU (PUU) di MK adalah menyangkut kedudukan hukum Pemohon. Meski Pasal 51 UU MK telah diatur siapa saja pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon di dalam perkara PUU, namun perkembangan syarat konstitusional bagi Pemohon, berkembang di dalam putusan-putusan MK. Sejak 2004, MK telah mengembangkan syarat konstitusional Pemohon tersebut, sebagai terjemahan dari Pasal 51 UU MK. Setidaknya, ada tiga yurisprudensi pokok Mahkamah yang menjadi sumber rujukan bagi putusan setelahnya, menyangkut syarat konstitusional bagi Pemohon, yaitu Putusan 003/PUU-I/2003, Putusan 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.
“Begitu pula halnya terhadap format putusan MK. Meski UU MK hanya mengatur tiga varian bentuk amar putusan MK, yakni tidak dapat diterima, ditolak, dan dikabulkan, namun di dalam perkembangannya, terdapat putusan MK yang bersifat bersyarat, yakni putusan conditionally constitusional dan conditionally unconstitutional. Bahkan ada pula putusan MK yang di dalam amarnya menolak, namun pada bagian pertimbangannya, memberikan pesan kepada pembentuk UU untuk untuk mengubahnya. Serta masih banyak varian lainnya dalam hukum acara PUU lainnya, yang merupakan perkembangan dari putusan-putusan MK. Termasuk Hukum Acara MK tentang PUU yang baru, sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021,” jelas Anwar.
Anwar mengibaratkan hukum acara sebagai jembatan bagi para pihak yang berperkara, menuju keadilan yang hendak ditujunya. Tanpa hukum acara yang memberikan kepastian hukum yang adil, maka tidak mungkin hukum materiil dapat ditegakkan. Oleh karena belum ada UU yang bersifat khusus yang mengatur tentang Hukum Acara MK, dan guna melengkapi ketentuan hukum acara yang terdapat di dalam UU MK itulah, maka disusunlah PMK tentang Hukum Acara.
Menurut Anwar, PMK tentang Hukum Acara memang tidak bersifat formil (rigid), sebagaimana hukum acara lainnya. Oleh karena itu, baik di dalam PMK yang lama maupun PMK yang baru tentang hukum acara, sifatnya merupakan pedoman dan panduan bagi para pihak yang berperkara. Bahkan dalam beberapa situasi tertentu, tidak menutup kemungkinan majelis hakim harus melakukan musyawarah untuk mengambil jalan atau langkah tertentu manakala perkembangan di dalam persidangan membutuhkan hal yang baru, sesuai dengan dinamika persidangan yang terjadi.
Secara teoritik, imbuh Anwar, hukum acara merupakan produk dari law making proccess, atau menjadi tangung jawab pembentuk UU di lembaga legislatif. Namun, secara teoritik pula, perkembangan hukum acara di dalam praktik (law applying) juga memiliki basis legal reasoning yang dapat dibenarkan. Idealnya, seharusnya keduanya dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi, dalam rangka mewujudkan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara yang berikhtiar untuk mencari keadilan.
Untuk diketahui, tujuan kegiatan FGD Hukum Acara ini adalah untuk merumuskan RUU yang mengatur secara khusus mengenai Hukum Acara MK. Adapun peserta FGD terdiri atas Internal MK, Perwakilan Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Perwakilan Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK), serta Lembaga Negara/Instansi dan lainnya.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.