JAKARTA, HUMAS MKRI - Wakil Ketua MK Aswanto menjadi pembicara kunci dalam Bedah Buku Kajian Evaluatif Penanganan Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 yang diselenggarakan Bawaslu dan Universitas Tadulako pada Sabtu (9/10/2021). Dalam kegiatan ini, hadir pula Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo.
Menurut Aswanto, kehadiran buku mengenai kinerja Bawaslu ini merupakan sebuah kajian menarik untuk penigkatan peran Bawaslu dalam mengawal pemilihan umum dan daerah agar terwuju ddengan demokratis. Ketika pemilihan presiden pada 2004 lalu, setelahnya dilakukan pula pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun pemerintah kebingungan dengan penyelenggara yang akan menggawangi terlaksananya pesta demokrasi daerah ini. Sebab UU 32/2004 menyatakan jika pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan rezim pemilihan daerah dan bukan pusat. Sebagaimana pula Pasal 22E UUD 1945 menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah penyelenggara pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan legislatif, dan tidak menyertakan pilkada. Sehingga pada masa awalnya, perselisihan yang terjadi pada pilkada dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) untuk tingkat provinsi dan oleh Pengadilan Tinggi untuk tingkat kabupaten/kota. Namun kemudian MA merasa sangat berat untuk melakukan pemeriksaan sehingga Perpu 1/2018 yang kemudian diundangkan menyatakan sebelum terbentuknya peradilan khusus, maka Mahkamah Konstitusi berwenang menyelesaikan perkara perolehan hasil pilkada.
Dalam menangani perkara PHP Kada ini, Aswanto menjelaskan pada penanganan PHP Kada 2020 lalu dari 271 daerah yang mengadakan pesta demokrasi daerah ini, terdapat 151 perkara yang teregistrasi di MK. Sehingga dalam penanganan masalah pilkada ini, tak hanya Bawaslu yang bersiap dengan regulasi dalam tugas pokok dan fungsinya, sambung Aswanto, MK pun menyiapkan ketentuan Pasal 158 sebagai ketentuan atas syarat formil bagi para pihak yang mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada). Mendapati berbagai permasalahan yang ada pada PHP Kada 2020 lalu, terdapat banyak sekali rekomendasi bawaslu dan pokok perkara yang membuktikan pemilihan ulang atau penghitungan ulang patut dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Akan tetapi yang dihadapi MK justru rekomendasi Bawaslu yang dinilai final dan mengikat tersebut harus pula menunggu tindak lanjut dari KPU.
“KPU melaksanakan tupoksinya berdasarkan pada PKPU, namun dalam pemilihan daerah ada pula ketentuan operasional dalam UU 16/2019. Maka dari hal ini sesungguhnya antara norma satu dengan norma di atasnya tidak boleh bertentangan. Itu sebabnya, salah satu hal yang perlu dibenahi dalam fungsi Bawaslu adalah regulasinya. Karena banyak sekali keterangan Bawaslu dalam persidangan bahwa ketentuan materil atas sebuah pelanggaran dapat terpenuhi, tetapi seringkali telah dinyatakan lewat waktu,” sampai Aswanto dalam kegiatan yang dihadiri secara daring.
Penyelenggara Pemilihan
Melihat fenomena yang terjadi pada Bawaslu dalam pemilihan di Indonesia ini, Aswanto memberikan pandangan terhadap penyelenggara pemilihan dari negara Australia dan Thailand yang dipahaminya. Jika pada kedua negara tersebut, Aswanto melihat bahwa pihak yang dapat menjadi penyelenggara hanyalah sarjana lulusan bidang hukum dan politik. Hal ini dilakukan untuk mendekati profesionalisme dalam penyelenggaraan pemilihan dan perangkatnya.
Sementara di Indonesia tidak demikian sehingga Bawaslu harus sangat bekerja keras untuk menerikan pelatihan dan bekal terkait penyelenggaraan pemilihan pada banyak pihak yang akan menjadi bagian dari penyelenggara. Bawaslu harus memberikan materi terkait dasar hukum dalam pemilihan serta perlu melakukan konsolidasi wawasan terhadap kepemiluan. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P