AMBON, HUMAS MKRI – Indonesia tidak menyebutkan secara eksplisit apa saja yang tergolong keadaan darurat dalam UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan konstitusional keadaan darurat diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. Kemudian berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, epidemi dan wabah penyakit tergolong dalam bencana nonalam.
Demikian disampaikan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam Kuliah Umum “Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara di Masa Pandemi” yang berlangsung secara hybrid pada Sabtu (9/10/2021). Kegiatan yang merupakan kerja sama antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Pattimura ini, sekaligus menjadi peresmian Smart Board Mini Courtroom di Universitas Pattimura.
Daniel menuturkan, pada 11 Maret 2020 WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi yang telah menyebar lebih dari 110 negara dan lebih dari 118.000 kasus teridentifikasi. Oleh karena itu, pada 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selanjutnya, Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional.
Sebetulnya, sambung Daniel, Indonesia telah memiliki beberapa regulasi terkait dengan penularan virus atau wabah penyakit. Seperti adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabillitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Termasuk juga Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Kualifikasi Situasi Darurat
Daniel juga memaparkan syarat atau kualifikasi negara dinyatakan dalam keadaan darurat. Pertama adalah kepentingan tertinggi negara, eksistensi negara itu sendiri, akan terganggu kalau tidak diambil tindakan.
“Kedua, peraturan itu harus mutlak atau sangat perlu. Ketiga, noodregeling itu bersifat sementara selama keadaan masih darurat saja, sesudah itu diperlukan aturan biasa yang normal dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku. Misalnya Korea Selatan dalam keadaan darurat, kalau Presiden mengeluarkan Perpu, maka Perpu hanya berlaku saat keadaan darurat saja. Setelah keadaan normal, undang-undang yang tadinya diubah, berlaku kembali dengan serta merta,” urai Daniel yang juga menyebut asas-asas hukum tata negara dalam keadaan darurat yang mencakup proklamasi, legalitas, komunikasi, kesementaraan, keistimewaan ancaman, proporsionalitas, intangibility, pengawasan.
Mengenai pengaturan Konstitusi terkait keadaan darurat atau pandemi, Daniel mencermati bahwa ada 10 negara yang mengatur keadaan darurat, khususnya epidemik dalam Konstitusi. Misalnya, Georgia, Azerbaijan, El Salvador, Ethiopia, Honduras, Makedonia, Nepal, dan lainnya. “Satu-satunya negara di dunia yang mengatur tentang pandemik dalam Konstitusi adalah Turki,” ucap Daniel.
Dengan demikian, ungkap Daniel, hanya Turki yang menggunakan sebutan pandemik (dangerous pandemic disease) dalam Art. 119 Constitution of the Republic of Turkey. Negara-negara lainnya menggunakan istilah “epidemic” dan “infectious disease” (penyakit menular) sebagai salah satu jenis keadaan darurat. Sedangkan Indonesia tidak menyebutkan secara eksplisit apa saja yang tergolong keadaan darurat dalam UUD 1945. Ketentuan konstitusional keadaan darurat diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. Kemudian berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, epidemi dan wabah penyakit tergolong dalam bencana nonalam.
“Walaupun mainstream para sarjana hukum mengatakan bahwa kegentingan yang memaksa tidak harus darurat. Dalam disertasi, saya mengatakan ini harus darurat. Kalau sudah genting, bukan sekadar berarti bahaya, tapi berbahaya. Semestinya kegentingan yang memaksa harus dimaknai sebagai suatu keadaan yang berbahaya,” tegas Daniel.
Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusional
Dalam kuliah umum ini, Daniel juga menyebut hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sedangkan hak konstitusional (constitutional rights), kata Daniel, merupakan seperangkat hak yang dimiliki oleh setiap warga negara yang dijamin di dalam dan oleh konstitusi yang berlaku di negaranya masing-masing. Dalam konteks Indonesia, hal ini termuat dalam Pasal 28A – Pasal 28J Perubahan Kedua UUD 1945.
Kemudian ada hak hukum (legal rights) timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Contoh, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.” (Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
Selain itu ada hak warga negara (citizen’s rights), melekat karena secara hukum seseorang memiliki status kewarganegaraan pada suatu negara. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Contoh, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” (Pasal 27 ayat (3) UUD 1945). Berikutnya, ada hak penduduk (inhabitant/resident rights) yang timbul karena bertempat tinggal di suatu negara. Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.”
Daniel juga menerangkan pengaturan hak asasi manusia dalam UUD NRI Tahun 1945 antara lain meliputi hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Selanjutnya, hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Lebih lanjut Daniel menguraikan kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan tentang hasil pemilu, wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden. Terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dari empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi tersebut, memutus pembubaran parpol dan kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden yang belum pernah digunakan Mahkamah Konstitusi.
Berikutnya, Daniel menyebutkan Putusan MK bahwa sebanyak 1404 perkara ditolak dan 215 perkara dikabulkan dalam kurun waktu 2003-2020. Selanjutnya untuk Statistik Perkara dan Putusan MK Tahun 2020 sampai dengan 2021 (data rekapitulasi per tanggal 5 Oktober 2021): Pengujian Undang-Undang (PUU) teregistrasi 161 perkara dengan 144 putusan, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) teregistrasi 1 perkara dengan 1 putusan, Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) teregistrasi 223 perkara dengan 222 putusan.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P