JAKARTA, HUMAS MKRI - Upaya mengantisipasi penyebaran virus tidak hanya berpengaruh pada sektor kesehatan saja, tetapi secara langsung dan tidak langsung beragam faktor terpengaruhi. Hal ini berarti beragam hak konstitusional yang dijamin dalam konstitusi pun terdampak, entah dibatasi atau dikurangi.
Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam Kuliah Umum dan Peresmian Mini Courtroom di Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan.
Dikatakan Wahiduddin, dalam praktik ketatanegaraan Indonesia mengenal kedua aturan mengenai pengurangan dan pembatasan sebagaimana dimuat dalam konstitusi. Dalam Pasal 28I ayat (1) merupakan contoh derogation clause. Klausula pengurangan menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pkiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Dalam konteks penanganan pandemi Covid-19, sambung Wahiduddin, pemerintah Indonesia tidak pernah mengumumkan berada dalam “keadaan bahaya”. Hak konstitusional tidak berada dalam konteks untuk diderogasi atau dikurangi. Akan tetapi, tidak berarti bahwa hak-hak konstitusional tidak dapat dibatasi. Pemerintah dapat membatasi hak-hak konstitusional demi menangani pandemi. Pembatasan yang dilakukan pemerintah pun tidak lantas tanpa pengawasan. Sebab, pembatasan hanya dapat dilakukan sepanjang sesuai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan.
Pembatasan hak konstitusional warga negara berkaitan dengan upaya pemerintah menekan laju peningkatan angka pasien yang terpapar Covid-19 tidak sampai pada penutupan secara penuh kota-kota atau pembatasan secara ketata kegiatan masyarakat hingga hanya sebatas pagar rumah masing-masing. Dalam konteks Ini, perdebatan hukum mengenai pembatasan hak konstitusional warga untuk memenuhi hajat hidup sehari-harinya tidak terlalu mengemuka. Sebab pemerintah pun tidak secara ketat menerapkan kebijakan lockdown sebagaimana terjadi di negara-negara lain.
Meskipun demikian, sambung Wahiduddin, tetap saja Covid-19 ini memancing perdebatan hukum dalam aspek pengelolaan ekonomi secara makro. Pengalihan anggaran secara massif oleh pemerintah demi penanganan Covid-19 memaksa sektor-sektor lain harus mengencangkan ikat pinggang.
Diakhir sambutannya, Wahiduddin menginformasikan bahwa MK pun terlibat dalam perkara-perkara pengujian kebijakan pemerintah di masa pandemi. Hal ini tentunya menjadi menarik bagi para mahasiswa untuk melakukan penelitian secara mendalam mengenai pengujian kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan penanganan pandemi. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P