JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/10/2021) siang. Sidang panel untuk perkara Nomor 51/PUU-XIX/2021 ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi dua anggota panel yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Permohonan pengujian materi UU Pengadilan Pajak diajukan oleh PT. Sainath Realindo yang diwakili oleh Vikash Kumar Dugar selaku direktur utama. Pemohon mengujikan Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak yang menyebutkan, “Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan kembali”.
Eddy Christian selaku kuasa hukum Pemohon yang hadir secara daring dalam persidangan menjelaskan kedudukan hukum Pemohon sebagai badan hukum privat yang berbentuk Perseroan Terbatas. Pemohon menjalankan kegiatan usaha dalam pengelolaan dan penyewaan gedung perkantoran Sainath Tower.
“Dengan berlakunya Pasal 42 ayat (3) UU Nomor 14 Tahun 2002, Pemohon tidak mendapatkan upaya penegakan hukum dan keadilan dari pemegang kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Pajak sebagaimana yang dimaksud Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum, perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta tidak mendapatkan kesempatan, kemanfaatan dalam mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana yang dimaksud Pasal 28H ayat (2) UUD 1945,” jelas Eddy.
Menurut Pemohon, penerapan Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan Pajak tidak memberikan kepastian hukum. Pemohon telah mengalami kerugian konkret karena tanpa adanya kejelasan kriteria gugatan seperti apa yang dianggap sudah pernah diajukan dan tidak dapat diajukan kembali. Hal ini menyebabkan tidak terdapat kepastian hukum bagi Pemohon untuk mencari keadilan dalam melakukan upaya hukum di Pengadilan Pajak.
Kerugian konkret tersebut merupakan kerugian konstitusional yang terdapat dalam Pasal 24 ayat (1), ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yaitu ketidakpastian manfaat dari penegak hukum, ketidakpastian persamaan, ketidakpastian hukum dan ketidakpastian keadilan dimana semestinya Pemohon berhak mendapatkan hak konstitusional di atas berupa hasil permohonan gugatan di Mahkamah Agung dengan amar putusan ditolak atau dikabulkan atau tidak dapat diterima dalam konteks kejelasan dan kepastian hukum, namun amar putusan ditolak dalam gugatan tersebut bersifat tidak memenuhi ketentuan formal.
Pemohon mendalilkan sekaligus mempertanyakan, pembeda antara gugatan yang sekarang diajukan dan gugatan yang sebelumnya telah dicabut sehingga dapat diartikan bahwa pengajuan gugatan yang terakhir adalah sama (idem) dengan pengajuan gugatan sebelumnya yang dicabut dan kemudian telah disimpulkan pengajuan terakhir tidak dapat diajukan kembali berhubung pengajuan gugatan sebelumnya (telah dianggap sama) pernah dicabut.
Pemohon beranggapan, penanganan perkara yang berkaitan dengan asas nebis in idem perlu dilakukan suatu kajian terhadap penerapan asas nebis in idem agar tidak terjadi pengulangan perkara yang sama di tingkat pengadilan. Kedudukan asas nebis in idem dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SE MA) Nomor 3 Tahun 2002 dapat ditemukan dalam melaksanakan pembangunan di bidang hukum, pada prinsipnya kemandirian penegak hukum mutlak dilakukan adalah karena melihat kekuasaan yang begitu besar dalam wewenanngnya dalam dunia peradilan, maka sudah tentu seorang hakim diharapkan dapat melahirkan putusan yang tidak bertentangan dengan rasa keadilan, karena hakim sebagai pilar bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon, Hakim Suhartoyo (Ketua Panel) mengatakan agar Pemohon lebih melakukan penguatan di kedudukan hukum dan Kewenangan Mahkamah. Selain itu, Suhartoyo menjelaskan bahwa Pemohon tidak bisa secara serta merta menyamaratakan Hukum Acara di Mahkamah Agung dengan Hukum Acara di Pengadilan Pajak dan di Mahkamah Konstitusi.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasehati Pemohon dan kuasa Pemohon agar membaca Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, terkait sistematika permohonan Pemohon.
“Harus jelas siapa Pemohonnya, diuraikan dalam kedudukan hukum. Selanjutnya, yang diuji Pemohon, Undang-Undang Mahkamah Agung atau Undang-Undang Pengadilan Pajak? Perlu dicek, dicermati lagi. Berikutnya, uraian tentang Kewenangan Mahkamah, dengan mencantumkan UU Mahkamah Konstitusi yang terbaru. Setelah itu, diuraikan posita mengenai kerugian konstitusional Pemohon, membangun argumentasi bahwa memang ada problematika konstitusional, tidak terlalu banyak peristiwa konkret. Terakhir, adalah petitum,” kata Enny menasihati.
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mencermati permohonan Pemohon banyak memuat peristiwa-peristiwa konkret yang dialami Pemohon. Meskipun Pemohon sudah banyak memuat peristiwa konkret, apapun putusan yang diambil MK tidak serta merta memulihkan kerugian yang dialami Pemohon di masa lalu.
“Kami sarankan agar Pemohon tidak terlalu menekankan pada peristiwa konkret. Kalau untuk pintu masuk suatu permohonan, peristiwa konkret bisa dimasukkan,” terang Wahiduddin menyampaikan nasihat.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana