JAKARTA, HUMAS MKRI – Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) tidak menyusun klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Haiyani Rumondang ketika menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) secara daring. Dalam kesempatan tersebut, Saldi mempertanyakan apakah Kemenaker menyusun sendiri klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.
“Dalam proses kami mengidentifikasi substansi berbagai permasalahan krusial, tentu kami mencatatnya dan menjadikannya sebagai bahan-bahan penting untuk melakukan pendalaman UU Cipta Kerja. Jadi, bahan-bahan ini, kami jadikan bahan masukan dan yang menyusunnya bukan kami, Yang Mulia. Tetapi kami pernah diundang bersama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kemenkumham,” jawab Haiyani dalam sidang yang digelar pada Rabu (6/10/2021) tersebut.
Baca juga: UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan sebagai Ladang Bisnis
Selain pertanyaan tersebut, Saldi juga mempertanyakan apakah Kemenaker menyampaikan draf revisi RUU Cipta Kerja kepada serikat pekerja. Haiyani menjelaskan tidak menyerahkan draf revisi RUU Cipta Kerja maupun rancangan Naskah Akademis RUU Cipta Kerja. “Untuk rancangan akademis, kami tidak menyerahkan. Tapi dalam pembahasan, kami menyiapkan bahan isu-isu krusial yang selama ini kami identifikasi. Dari situlah kami bergerak dan berdiskusi,” jawab Haiyani.
Haiyani juga menjelaskan Kemenaker menyampaikan kepada serikat pekerja draf rancangan pasal-pasal klaster ketenagakerjaan dalam bentuk matriks. “Dalam pembahasan tentu tidak bisa dibahas kalau tidak ada ini. Kami menyampaikannya dalam bentuk softfile, matriks yang sudah kami susun pasal per pasal dalam klaster ketenagakerjaan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan agar lebih komunikatif,” paparnya.
Baca juga: MK Gelar Sidang Pengujian UU Cipta Kerja
Sebelumnya, Haiyani yang menjadi Saksi Pemerintah untuk Perkara 105/PUU-XVIII/2020, mengungkapkan saat ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada Juli 2015-November 2020. Ia menjelaskan hal terkait partisipasi publik dalam proses pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan.
“Sejak Pidato Kenegaraan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 yang menyatakan akan menyusun Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, telah melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan bidang ketenagakerjaan. Di antaranya mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, pengupahan dan PHK,” papar Haiyani yang kini menjabat sebagai Dirjen Binwasnaker dan K3 Kementerian Tenaga Kerja.
Dalam kegiatan dimaksud, lanjut Haiyani, pemerintah melakukan dialog dengan berbagai unsur, misalnya dialog dengan unsur Serikat Pekerja Serikat Buruh (SPSB). Saat itu Hayani hadir dan memimpin langsung pertemuan-pertemuan yang melibatkan unsur SPSB. Pertemuan tersebut berlangsung pada 4 Desember 2019, dengan agenda dialog membahas PKWT dan alih daya dan dihadiri serikat pekerja seluruh Indonesia, termasuk di dalamnya berbagai konfederasi serikat pekerja.
Pertemuan serikat pekerja seluruh Indonesia berlanjut pada 18 Desember 2019, dengan agenda dialog Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan topik pembahasan PKWT dan outsourcing, upah minimum, PHK dan kompensasi PHK serta jaminan sosial. Selain itu, Haiyani hadir dalam pertemuan dengan para praktisi dan akademisi hukum pada 16 September 2019 di Tangerang.
Baca juga: 15 Badan Hukum Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Beri Masukan Konstruktif
Dalam sidang untuk Perkara Nomro 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 4, 6 /PUU-XIX/2021, hadir pula Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Yoris Raweyai hadir selaku Saksi Pemerintah untuk Perkara 103/PUU-XVIII/2020. “KSPSI sebagai konfederasi serikat pekerja yang menaungi 17 federasi serikat pekerja anggota, senantiasa berperan dan berpartisipasi aktif sebagai subyek pembangunan nasional. Terutama dalam rangka membangun hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan,” ujar Yoris di awal persidangan.
Baca juga: Federasi dan Pekerja Industri Ujikan Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Dikatakan Yoris, peran aktif tersebut juga tercermin pada saat KSPSI memberikan masukan yang konstruktif dalam kerangka Tripartit terkait pembahasan draf RUU Cipta Kerja pada klaster ketenagakerjaan. Untuk itu disampaikan hal-hal terkait pemberian masukan dan/atau pembahasan draf RUU Cipta Kerja pada klaster ketenagakerjaan sebagai berikut: a. proses pengawalan kebijakan, baik di forum legislatif maupun upaya mendorong peran serta atau partisipasi publik dari unsur pekerja/buruh kepada pihak yang mengajukan RUU Cipta Kerja kepada DPR.
“Sebagai Ketua Umum KSPSI dan Ketua Komite II DPD RI, saya cukup intensif dalam pembahasan dan pengawalan proses legislasi RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Terutama setelah memperoleh draf atau naskah RUU Cipta Kerja dan Naskah Akademik dari RUU tersebut,” jelas Yoris.
Baca juga: Federasi Serikat Pekerja Tekstil Gugat UU Cipta Kerja
Yoris menuturkan, pada 11 Februari 2020 ia mengikuti pertemuan perdana di Kementerian Tenaga Kerja terkait pembahasan dan pengawalan proses legislasi RUU Cipta Kerja. Pada kesempatan itu telah disampaikan Surat Keputusan (SK) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 121 Tahun 2020 kepada seluruh anggota tim yang hadir dan penjelasan sebagai latar belakang maksud dan tujuan pembentukan tim serta rencana agenda rapat berikutnya untuk membahas mekanisme kerja dan jadwal kegiatan tim.
Selanjutnya pada 13 Februari 2020 di Jakarta digelar pertemuan kedua untuk membahas mekanisme kerja dan jadwal kegiatan KSPSI dan tim. Dalam pertemuan tersebut, tim sepakat untuk membentuk kelompok pembahasan substansi ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang terbagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok tenaga kerja asing; kelompok hubungan kerja dan waktu kerja, waktu istirahat; kelompok pengupahan; kelompok PHK dan penghargaan lainnya; kelompok jaminan kehilangan pekerjaan.
Kemudian pada 18 Februari 2020 di Jakarta, KSPSI dan tim melakukan pembahasan materi muatan RUU Cipta Kerja khusus ketenagakerjaan serta berkelompok. Masing-masing kelompok membahas pasal demi pasal materi sandingan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja.
Baca juga: Pemohon Uji UU Cipta Kerja Ajukan Permohonan Provisi
Kelompok Tim Pengupahan
Beni Rusli hadir sebagai Saksi Pemerintah untuk Perkara 4/PUU-XIX/2021. Ia menjadi anggota Tripartit pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan. Saat itu ia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Nasional Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPN FKSPN) periode 2015-2020.
“Keterlibatan saya dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja. Di antaranya, saya ikut rapat membentuk kelompok pembahasan substansi ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang terbagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok tenaga kerja asing; kelompok hubungan kerja dan waktu kerja, waktu istirahat; kelompok pengupahan; kelompok PHK dan penghargaan lainnya; kelompok jaminan kehilangan pekerjaan,” jelas Beni.
Dalam rapat tersebut, Beni termasuk dalam kelompok tim pengupahan. Terdapat sejumlah unsur Tripartit yang terlibat dalam kelompok pengupahan terkait pembahasan RUU Cipta Kerja, baik dari unsur pemerintah, pengusaha, serikat pekerja, dan sebagainya. Rapat berlangsung dinamis karena banyaknya perbedaan sikap dari para peserta rapat terhadap persoalan-persoalan yang dibahas.
Baca juga: Ahli Pemerintah: UU Cipta Kerja, Kebijakan untuk Antisipasi Dampak Negatif Era Globalisasi
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara 91/PUU-XVIII/2020 Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas, dkk. melakukan pengujian formil UU No. 11/2020. Mereka mendalilkan, alasan Mahkamah Konstitusi memberikan tenggat 45 hari suatu undang-undang dapat diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi, adalah untuk mendapatkan kepastian hukum secara lebih cepat atas status suatu Undang-Undang apakah dibuat secara sah atau tidak. Sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Sementara para Pemohon Perkara 103/PUU-XVIII/2020 adalah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), diwakili oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardian. Mereka melakukan pengujian formil UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59, Pasal 61, Pasal 61A, Pasal 66, dan Pasal 88.
Sedangkan para Pemohon Perkara 105/PUU-XVIII/2020 adalah Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan 12 Pemohon lainnya. Mereka melakukan pengujian formil dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Bab IV Bagian Kedua: 1) Pasal 81 angka 1 (Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No.13/2003) mengenai pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja perusahaan. Selain itu Pasal 81 angka 2 (Pasal 14 ayat (1) UU 13/2003) bahwa lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Sementara permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK. Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Kemudian para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuan UU tersebut. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana/Lulu A.
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita