JAKARTA, HUMAS MKRI - Sifat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidaklah sama dengan final mengikat pada umumnya lembaga peradilan. Sifat final dan mengikat putusan DKPP mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, maupun Bawaslu yang melaksanakan putusan DKPP. Sehingga, mekanisme check and balances terhadap DKPP masih tetap ada. Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kementerian Dalam Negeri Eko Prasetyanto Purnomo Putro mewakili Pemerintah dalam sidang uji materiil Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang ketiga untuk Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 ini digelar pada Selasa (5/10/2021) secara daring di Ruang Sidang Pleno MK.
" Dengan demikian, DKPP sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri untuk dapat 7 terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil, maka kredibilitas penyelengara pemilu dalam melindungi hak asasi manusia berupa hak dipilih dan hak memilih," ujar Eko dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Dikatakan Eko, DKPP memiliki hak untuk melakukan langkah-langkah penegakkan kode etik penyelenggaraan pemilu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan termasuk pengaturan dalam UU Pemilu. Tujuan dari penegakkan kode etik bagi penyelenggara pemilu oleh DKPP adalah menjaga integritas, kehormatan, kemandirian dan kredibilitas penyelenggara pemilu agar tujuan dari penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU dan Bawaslu dapat tercapai. “Salah satunya yaitu terjaganya sistem ketatanegaraan yang demokratis dan terciptanya pemilu yang adil dan berintegritas," ujar Eko.
Menurut Eko, apabila kewenangan apapun secara kelembagaan DKPP dihilangkan, maka tidak ada lembaga yang akan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pemilu. Ia juga mengatakan, putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Oleh karena DKPP adalah perangkat internal penyelenggara pemilu yang diberi wewenang oleh UU. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun Bawaslu.
Baca juga: Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Perbaiki Permohonan Uji Materi Konstitusionalitas Putusan DKPP
Tugas DKPP Diatur UU
Lebih lanjut Eko menerangkan bahwa, KPU sebagai pelaksana dan pengendali penyelenggara pemilu diawasi oleh Bawaslu. Sedangkan sikap dan perilaku anggota KPU dan Bawaslu diawasi DKPP. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas DKPP diatur dalam ketentuan Pasal 161 ayat (2) UU pemilu yaitu peraturan pembentukan DKPP wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat (RDP). Selain itu, sambung Eko, kontrol terhadap suatu pelaksanaan tugas dan wewenang DKPP juga diatur dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Pemilu yang menyatakan bahwa setiap anggota DKPP pada setiap unsur dapat diganti antar waktu. Pasal ini berkaitan dengan Pasal 155 ayat (4) dan ayat (5) UU Pemilu yang mengatur unsur keanggotaan DKPP.
Eko melanjutkan, UUD 1945 memberikan mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur materi lebih lanjut, namun tidak memberikan batasan pengaturan materinya. UUD 1945 tidak memberikan mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur suatu materi lebih lanjut.
Harapan Pemerintah
Dalam kesempatan itu, Eko menyampaikan harapan agar para Pemohon dapat ikut serta dalam pembahasan revisi UU Pemilu. “Pemerintah menghargai usaha-usaha yang dilakukan masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang berharga bagi pemerintah khususnya masyarakat Indonesia pada umumnya. Atas dasar pemikiran tersebut pemerintah berharap agar pemohon ikut serta memberi masukan dan tanggapan terhadap penyempurnaan UU a quo di masa mendatang dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Harapan pemerintah pula bahwa dialog antara masyarakat dan pemerintah tetap terus terjaga dengansatu tujuan bersama untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara demi masa depan Indonesia lebih baik dan mengembangkan dirinya dalam pemerintahan dan tujuan ikut berkontribusi positif mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945,” imbuh Eko.
Baca juga: Anggota KPU Persoalkan Konstitusionalitas Sifat Final dan Mengikat Putusan DKPP
Sebelumnya pada sidang pendahuluan, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik yang merupakan Anggota KPU RI mengajukan uji materiil aturan mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Keduanya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021. Keduanya mendalilkan Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11), ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu. Evi yang merupakan Pemohon I pernah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam putusan DKPP Nomor 317-PKEDKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020 dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020. Meskipun PTUN telah mengabulkan gugatan Pemohon I dalam putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT pada tanggal 23 Juli 2020 dan menyatakan batal Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 sehingga Pemohon I aktif kembali menjadi Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, tetapi DKPP tetap tidak mengakui Pemohon I sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022.
Untuk itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu sepanjang frasa “putusan” sebagai conditionally constutional (konstitusional bersyarat) sepanjang dimaknai sebagai “keputusan” yang dapat diuji langsung ke peradilan Tata Usaha Negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim