JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 288 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 293 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 ini digelar pada Senin (4/10/2021) siang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.
Dalam persidangan secara daring, Anggota Komisi III DPR RI Supriansa menerangkan pengaturan yang ada dalam pasal KUHP saat ini merupakan produk dari warisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang dirasa tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan masyarakat saat ini. Oleh karena itu, perlu untuk segera diperbarui secara komprehensif, termasuk dengan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Meskipun demikian, dengan belum diundangkannya KUHP yang baru, berarti ketentuan-ketentuan KUHP yang masih berlaku tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” kata Supriansa.
Supriansa juga mengatakan, Indonesia sudah memiliki instrumen hukum KUHP yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, semakin marak kejahatan terhadap anak. Salah satunya adalah kejahatan seksual.
Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi, konvensi internasional terhadap hak anak, yaitu pengesahan konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child atau Konvensi tentang Hak Anak.
Menurut DPR, adanya Undang-Undang Perlindungan Anak telah menjadi lex specialis terkait kejahatan yang dilakukan terhadap seorang anak. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam KUHP ini inkonstitusional karena KUHP masih berlaku sebagai undang-undang hukum pidana saat Ini. Pengaturan mengenai pidana terhadap orang bersetubuh dan/atau berbuat cabul terhadap anak yang masih di bawah umur yang diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan terkait tersebut tetap dapat digunakan oleh penegak hukum yang tentunya tergantung berdasarkan peristiwa hukum yang terjadi dan terpenuhinya unsur-unsur kriminalnya.
“Politik hukum pembentuk undang-undang terkait dengan kebijakan aturan hukum mengenai tindak pidana asusila atau kekerasan terhadap anak telah diupayakan di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP yang disiapkan untuk menggantikan KUHP yang masih berlaku saat ini. Di dalam RUU KUHP yang telah masuk dalam proses pembahasan pada periode keanggotaan DPR 2014–2019, pengaturan tersebut diatur dalam ketentuan sebagai berikut, Pasal 420, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 423,” terang Supriansa secara daring.
Dari ketentuan mengenai tindak pidana kesusilaan terhadap anak tersebut menunjukkan bahwa delik tersebut masuk dalam kategori delik biasa dan bukan sebagai delik aduan. Di dalam Pasal 24 ayat (2) RUU KUHP telah mengatur bahwa tindak pidana aduan harus ditentukan secara tegas dalam undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 420 sampai Pasal 423 RUU KUHP tidak mencantumkan penegasan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik aduan.
“Pengaturan tersebut menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah berupaya untuk memberikan pengaturan kebijakan hukum yang teraktualisasi dengan perkembangan terkini, khususnya terhadap perlindungan anak. Bahwa pembahasan RUU KUHP pada periode keanggotaan DPR 2014-2019, mohon maaf, belum selesai, sehingga pembahasan RUU KUHP dimasukkan kembali dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2020-2024 berdasarkan kesepakatan pembentuk undang-undang,” lanjut Supriansa.
Delik Susila
Pada kesempatan yang sama, Pemerintah menyampaikan keterangan melalui Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Hubungan Antar Lembaga Dhahana Putra yang mengatakan, materi pasal yang diuji mengandung delik heteroseksual, homoseksual, dan non-sexual connection. Hubungan heteroseksual dalam delik-delik susila yang diatur dalam KUHP Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 yang pada dasarnya norma tersebut menyatakan bahwa wanita adalah sebagai pihak dijadikan objek dari perbuatan yang dipidanakan. Pasal 285 KUHP memidanakan seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengannya di luar perkawinan dalam kualifikasi menjadi delik perkosaan atau rape atau d'agression sexuelle.
Begitu juga dalam ketentuan Pasal 286 KUHP, “Seseorang yang melakukan persetubuhan dengan wanita padahal diketahui wanita tersebut dengan keadaan pingsan atau tidak berdaya, yang selanjutnya dapat dipidana.”
Terhadap ketentuan Pasal 287 KUHP, “Unsur pemidanaan terdapat pada seseorang yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan yang diketahui atau patut diduga bahwa umurnya belum mampu melakukan perkawinan.”
Begitu juga terhadap Pasal 288 KUHP yang mengandung unsur pemidanaan terhadap seseorang yang bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinannya yang diketahui atau statusnya dapat diduga bahwa wanita tersebut belum mampu. Dan jika mengakibatkan luka, luka berat, atau mati, pasal-pasal tersebut jelas mensyaratkan suatu perbuatan persetubuhan sebagai suatu sexual carnal intercourse dengan wanita. Dimana perbuatan tersebut dilakukan di luar perkawinan, terkecuali Pasal 288 KUHP yang justru memidanakan perbuatan di dalam perkawinan.
“Pasal 288 KUHP sebenarnya bertujuan untuk menghadapi apa yang dinamakan oleh memorie van toelichting sebagai kinderhuwelijken menurut hukum adat. Dimana dalam penerapan pemidanaannya, terbatas pada timbulnya suatu akibat yang luka, luka berat, atau mati. Pemidanaannya tergantung dari suatu criterium atau kemampuan kawin dari wanita yang bersangkutan. Selain dari syarat subyektif, terdapat tiga unsur dolus dan unsur culpoos dalam ketentuan Pasal 287, namun tidak disyaratkan dalam ketentuan Pasal 244 dan Pasal 245 WvS Belanda,” kata Dhahana.
Berdasarkan hal tersebut di atas, lanjut Dhahana, Pasal 285 sampai dengan Pasal 288, merupakan kriteria adanya persetubuhan carnal intercourse seorang wanita disebut sebagai delik susila yang heteroseksual sifatnya. Pengertian delik susila secara singkat dapat dikatakan sebagai delik yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
“Namun, tidaklah mudah menetapkan batas-batas aturan ruang lingkup delik kesusilaan. Karena pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup jelas dan berbeda-beda menurut pandangan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Terlebih karena hukum itu sendiri adalah pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal das recht das ethische minimum, Delik-delik di atas sebenarnya tidaklah mudah dapat menetapkan batas-batas atau ruang lingkup dari delik kesusilaan.” terang Dhahana.
Sementara Pasal 288 dan Pasal 293 KUHP merupakan delik yang mengatur pro parte dolus, pro parte culpa, yaitu suatu delik mempunyai unsur kesebagian yang digunakan sebagai syarat dengan kesengajaan dan sebagian digunakan sarat dengan kealpaan dengan memakai unsur diketahui atau statusnya harus diduga. Sehingga, jika salah satu dari bagian unsur tersebut sudah ada, cukup untuk dapat menjatuhkan pidana. Unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP adalah jika terjadi peristiwa perkawinan dilakukan antara pria dan wanita ketika masih di bawah umur atau belum dewasa yang secara hukum belum waktunya untuk melakukan perkawinan, tetap dapat dilakukan dan dapat hidup bersama.
Dhahana menegaskan, dalam ketentuan ini yang menjadi unsur pidana adalah jika mereka melakukan hubungan badan, namun tidak berakibat adanya luka, luka berat, atau matinya perempuan tersebut, maka tidak dapat menjadi unsur pidana. Namun, jika hubungan badan mereka mengakibatkan luka berat atau mati si perempuan, maka dapat menjadi unsur pidana bagi laki-laki.
Sedangkan yang dimaksud unsur pidana dalam ketentuan Pasal 293 KUHP adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja melakukan suatu bujukan terhadap orang untuk melakukan perbuatan cabul pada orang lain, atau membiarkan dilakukannya cabul pada dirinya, dan perbuatan bujukan tersebut dengan menggunakan tipuan berbagai cara seperti dengan memberikan janji, hadiah, atau lainnya. Sehingga dengan bujukan atau tipuan tersebut, dapat memengaruhi seseorang untuk membiarkan dirinya dilakukan perbuatan cabul, sedangkan orang yang dituju tersebut harus yang belum dewasa dan tidak catat kelakuannya. Unsur pidana dalam ketentuan tersebut dapat disangkakan terhadap orang yang melakukan bujukan tersebut atau tipuan tersebut.
Dhahana juga menjelaskan, berdasarkan unsur pidana yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut, penentuan pidana didasarkan atas kerugian korban dikarenakan kerugian tersebut tidak dapat diketahui secara umum dan hanya korban yang dapat menentukan kerugiannya, sehingga hanya korban yang dapat atau berhak menuntutnya. Penentuan dalam ketentuan tersebut merupakan delik aduan dan diberikan batas pengaduan dalam waktu 7 sampai 12 bulan.
***
Sebagaimana diketahui, para Pemohon merupakan dua Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) menguji Pasal 288 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 293 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Leonardo Siahaan dan Fransicus Arian Sinaga menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon I menilai ketentuan Pasal 293 ayat (2) dan Pasal 288 multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas. Dia mengatakan hal ini meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran para Pemohon yang memiliki adik kandung dan saudara perempuan, yang rentan menjadi korban percabulan di bawah umur dan sebagai korban kekerasan dalam perkawinan sehingga tidak ada implementasi kepastian perlindungan hukum.
Para Pemohon merasa tidak adanya kejelasan Pasal 288 KUHP mengenai batasan umur yang dimaksud oleh ketentuan a quo. Menurut para Pemohon, seharusnya Pasal 288 KUHP memberikan penjelasan yang jelas usia dari yang dimaksud “belum waktunya untuk dikawini. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan perdebatan seperti apa “belum waktunya untuk dikawini” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah Pasal 293 KUHP dan 288 KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” dan “belum waktunya untuk dikawini” tidak mempunyai kekuatan mengikat. Pemohon pun meminta kepada Majelis Hakim menyatakan Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.