JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian materiil Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) pada Kamis (30/9/2021) secara daring. Permohonan ini diajukan oleh Otto Cornelis Kaligis (OC Kaligis).
Pada sidang pengucapan putusan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, MK menyatakan pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sehingga MK menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan Hakim Konstitusi saat mengucapkan amar Putusan Nomor 41/PUU-XIX/2021.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan tidak bersifat diskriminatif karena hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana, termasuk hak untuk mendapatkan remisi (huruf i), tanpa disertai kondisi atau persyaratan terpenuhinya hak tersebut. Pengaturan mengenai hak narapidana merupakan bentuk kehadiran negara dalam upaya untuk melindungi warga negaranya sekalipun berstatus sebagai narapidana. Artinya, negara bersikap pro-aktif untuk memberikan kebebasan dan keistimewaan tertentu yang ditetapkan dan ditegakkan oleh seperangkat aturan hukum. Kebebasan atau keistimewaan demikian tidak bersifat mendasar (asasi) dan berada di luar dari hak warga negara yang telah ditentukan dalam konstitusi.
Oleh karenanya, sambung Suhartoyo, pengaturan mengenai subjek, objek, persyaratan hingga perubahan dan pencabutan terhadapnya ditentukan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian, pemberian hak hukum (legal rights) kepada sebagian kelompok masyarakat, secara logis dapat dinilai diskriminatif dari kacamata orang lain yang tidak memperoleh hak tersebut, sedangkan bagi si penerima (subjek) hak, penilaian mengenai timbulnya diskriminasi adalah ketika terdapat materi norma yang menentukan kondisi dan persyaratan tertentu atau dalam implementasi norma tersebut yaitu terkait dengan pemenuhan hak yang telah diberikan.
“Karena Pemohon dalam hal ini merupakan subjek hak, in casu hak remisi, maka rumusan norma yang isinya hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana (termasuk Pemohon) menurut Mahkamah tidak mungkin ditafsirkan lain selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo. Dengan demikian, Mahkamah kembali menegaskan bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 tidak bersifat multitafsir dan diskriminatif sehingga dalil Pemohon yang menyatakan norma a quo bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Suhartoyo.
Aturan Remisi
Lebih lanjut Suhartoyo mengatakan, Pemohon juga mendalilkan Penjelasan Pasal 14 ayat (1) Huruf i UU Pemasyarakatan bersifat multitafsir dan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap narapidana sehingga bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan hanya memuat tafsir resmi atas norma yang diatur dalam batang tubuh dan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh.
Penjelasan a quo lebih menegaskan bahwa (hak) remisi dapat diberikan setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, karena pada saat UU Pemasyarakatan ditetapkan, telah berlaku terlebih dahulu setidaknya 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang lebih teknis mengatur mengenai remisi di Indonesia, yaitu Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955 tentang Ampunan Istimewa dan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjadi Donor Organ Tubuh Dan Donor Darah.
Oleh karena itu, uraian lebih lanjut mengenai pemberian hak remisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan adalah merujuk pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih teknis mengatur mengenai remisi yang juga masih berlaku setelah diundangkannya UU Pemasyarakatan.
Pemohon juga mendalilkan akibat dari berlakunya Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan yang bersifat multitafsir telah membuka ruang adanya campur tangan pihak lain dalam penentuan pemberian (hak) remisi bagi narapidana yang lebih ketat dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, permasalahan demikian bukanlah dikarenakan inkonstitusionalnya norma dalam UU Pemasyarakatan yang dimohonkan pengujian, melainkan merupakan persoalan implementasi norma yang dialami oleh Pemohon, yaitu terkait dengan mekanisme pemberian remisi sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan yang dikaitkan dengan salah satu peraturan pemerintah yang mensyaratkan bahwa setiap narapidana tindak pidana korupsi harus mendapatkan predikat sebagai justice Collaborator untuk mendapatkan hak remisi.
Kewenangan Pemberian Remisi
Mahkamah juga menegaskan, kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain. Apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan. Artinya, lembaga pemasyarakatan di dalam memberikan penilaian bagi setiap narapidana untuk dapat diberikan hak remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan, dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya.
Apapun jenis tindak pidana yang dilakukan seorang terdakwa maupun hal-hal yang meliputi dengan perbuatan yang dilakukan, seharusnya sudah selesai ketika secara komperehensif telah dipertimbangkan secara hukum dalam putusan pengadilan yang berakhir pada jenis dan masa pidana yang dijatuhkan (strafmaat) oleh hakim. Selanjutnya, bagi seorang terdakwa yang telah menerima jenis dan masa pidana tersebut yang berakibat putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap maka bagi terpidana yang menjalani pidana sebagai warga binaan akan memasuki babak kehidupan baru untuk menjalani pidana dalam rangka proses untuk dikembalikan di tengah masyarakat dengan hak-haknya yang harus dipenuhi tanpa ada pengecualian, sepanjang syarat-syarat pokok sebagaimana ditentukan dalam UU Pemasyarakatan terpenuhi.
“Dalam konteks penjelasan suatu norma, penjelasan sebuah undang-undang juga tidak boleh menambahkan norma baru, apalagi menambah persyaratan yang tidak sejalan dengan norma pokok yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan,” ungkap Suhartoyo.
***
Untuk diketahui, pada sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, pada Kamis (26/8/2021), OC Kaligis menyampaikan kerugian konstitusional yang dialaminya. OC mengatakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengupayakan dirinya mendapatkan remisi.
Namun, upaya remisi ini terhalang dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 32/1999). OC menjelaskan bahwa ia bukan seorang pelaku akan tetapi dihukum selama 10 tahun.
Dalam permohonannya, OC menilai Pemerintah melalui PP 99/2012 mengabaikan amanah tujuan hukum (doelmatighrechts) mengenai pokok pikiran konsepstual pemasyarakatan yang telah ditegaskan sebagai landasan dasar hukum UU Pemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam bagian penjelasan umum, di antaranya mengabaikan fungsi pemidanaan yang merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan. Pemerintah menekankan pada unsur balas dendam khususnya pada tindak pidana tertentu yang salah satunya adalah tindak pidana korupsi. Pendekatan unsur balas dendam tersebut menunjukan pemerintah masih berpedoman pada ciri khas doktrin sistem pemenjaraan yang berlaku dalam hukum kolonial belanda.
Selain itu, menurut OC, PP 99/2012 merupakan peraturan teknis yang telah menyimpang dengan membatasi substansi hak hukum (legal rights) dan hak konstitusional (constitutional rights) mengenai perlunya diperketat syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Pembatasan bersyarat terhadap substansi hukum pada ketentuan hak hukum (legal rights) dan hak konstitusional (constitutional rights) Pemohon dalam PP 99/2012 bertentangan dengan Rumusan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Baca juga:
OC Kaligis Anggap Remisi Napi Diskriminatif
OC Kaligis Perbaiki Permohonan Uji UU Pemasyarakatan
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.