JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) pada Kamis (30/9/2021) di Ruang SIdang Pleno MK secara daring. Permohonan diajukan oleh empat purnawirawan TNI yang menjadi peserta program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) yang dikelola oleh PT ASABRI (Persero). Mereka adalah Mayjen TNI (Purn) Endang Hairudin, Laksma TNI (Purn) M. Dwi Purnomo, Marsma TNI (Purn) Adis Banjere, dan Kolonel CHB (Purn) Adieli Hulu. Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS.
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah juga menyatakan Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 6/PUU-XVIII/2020.
Mahkamah berpendapat, isu pokok yang dijadikan alasan permohonan pengujian oleh para Pemohon mempunyai kesamaan dengan perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019 yang putusannya telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan MK Nomor 72/PUU-XVII/2019 disebutkan, peleburan persero yang bergerak dalam penyelenggaraan jaminan sosial menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sesuai Pasal 57 dan Pasal 65 UU 24/2011 berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk UU saat membentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004) yang menghendaki konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk. Sehingga, konsep peralihan kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial ke dalam BPJS Ketenagakerjaan menyebabkan hilangnya entitas persero yang mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya yang masing-masing mempunyai karakter dan kekhususan yang berbeda-beda.
Putusan MK Nomor 72/PUU-XVII/2019 pada pokoknya menyatakan sekalipun UU 40/2004 mengharuskan badan/lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda, melainkan cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum dimaksud dan melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut serta memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang. Hal ini untuk menghindari terjadinya potensi kerugian hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan, khususnya berkaitan dengan nilai manfaat.
“Oleh karenanya, meskipun pilihan melakukan transformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan dimaksud merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga yang hal itu tidak dapat dipisahkan dari karakter dan kekhususan masing-masing badan penyelenggara jaminan sosial yang berbeda-beda, sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara, khususnya peserta yang tergabung di dalamnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum dari Putusan MK.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon mengenai pengalihan PT ASABRI (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan amanat bagi negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga merupakan semangat yang terdapat dalam Putusan MK Nomor 72/PUU-XVII/2019. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019 tersebut mutatis-mutandis menjadi bagian dari pertimbangan hukum terhadap putusan perkara a quo dan oleh karena itu Mahkamah berpendapat terhadap permohonan para Pemohon ini pun adalah beralasan menurut hukum.
***
Sebagaimana diketahui, para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS. Pasal 65 ayat (1) UU BPJS menyatakan, “PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029”.
Para Pemohon mendalilkan pasal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional para Pemohon yang berlatar belakang sebagai prajurit TNI yang memiliki karakteristik risiko yang sangat berbeda dibandingkan dengan karakteristik risiko yang dihadapi oleh aparat negara dan atau pegawai/pekerja pada umumnya. Karakter Prajurit TNI ini menyebabkan penyelenggaraan Asuransi Sosial bagi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dirasa perlu untuk diatur secara tersendiri. Risiko penugasan yang dihadapi oleh Prajurit TNI dan Anggota Polri adalah risiko-risiko yang langsung berkaitan dengan kehilangan nyawa atau paling sedikit berkaitan dengan kecacatan jasmani dan atau rohani seperti risiko gugur, tewas, cacat atau hilang di daerah operasi atau dalam tugas-tugas khusus lainnya yang setiap saat bisa terjadi yang pasti sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup diri dan atau keluarganya. Para Pemohon, walaupun telah pensiun dari keaktifan sebagai Prajurit TNI tetap harus siap bertugas kembali sebagai prajurit TNI ketika negara membutuhkan.
Kerahasiaan jabatan data pribadi Para Pemohon (walaupun telah non aktif sebagai anggota TNI) merupakan hal yang harus terus dijaga, dimana kerahasiaan identitas Para Pemohon tersebut berpotensi dirugikan apabila program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Para Pemohon tidak dapat membentuk asosiasi pekerja mengingat sebagai prajurit TNI kepesertaan jaminan soisal wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan in casu menjadi peserta Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dikelola oleh PT ASABRI (Persero). Prajurit TNI Aktif harus netral tidak mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dalam hak berpolitik. Dengan demikian, para Pemohon jelas tidak dapat dianggap sebagai tenaga kerja biasa sebagaimana peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Para Pemohon yang selama ini menerima manfaat sebagai peserta dari program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengalami ketidakpastian hukum karena adanya potensi penurunan manfaat yang akan diterima apabila program dialihkan ke BPJS. Hal ini terjadi karena saat ini manfaat yang diterima oleh para Pemohon dari program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia telah sesuai dengan karakter para Pemohon yang berasal dari Prajurit TNI yang telah menjalani masa pensiunnya.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.