JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan aturan mengenai pengalihan pengelolaan dana pensiun dari PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau disingkat PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan . Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Melalui Putusan Nomor 72/PUU-XVII/2019, MK menyatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh hakim konstitusi lainnya pada Kamis (30/9/2021) dengan diikuti secara daring oleh para pihak. Permohonan tersebut diajukan oleh para pensiunan dan PNS aktif ini mendalilkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: Jumlah ASN Penguji UU BPJS Bertambah
Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan pertimbangan hukum Mahkamah terkait konsep peralihan kelembagaan PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Bahwa Mahkamah mempertimbangkan jika setiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak dan memilih pekerjaan sesuai kemampuannya sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, sambungnya, saat seseorang telah memilih untuk bekerja pada pekerjaan tertentu, maka segala hak, kewajiban, dan risiko atas pilihan pekerjaan tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh yang bersangkutan.
Sementara itu, sambung Saldi, jika dikaitkan dengan mandat negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial ini, maka penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut pun dapat beragam sesuai dengan karakter masing-masing pekerjaan yang dipilih warga negara. Oleh karena itu, pengubahan desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial yang telah berjalan dengan likuidasi atau penggabungan menjadi satu badan tersebut, akan berakibat pada munculnya ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang telah memilih untuk mengikuti program jaminan hari tua dan dana pensiun pada lembaga yang telah berjalan.
“Sehingga Mahkamah menegaskan, sekalipun UU 40/2004 mengharuskan lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model lainnya yang memiliki karakter berbeda. Transformasi cukup dilakukan terhadap bentuk badan hukumnya dengan penyesuaian dan memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang,” sebut Saldi.
Baca juga: Pemerintah: Regulasi Program Jaminan PT Taspen dengan BPJS Ketenagakerjaan Berbeda
Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa ketika pembentuk undang-undang mengalihkan persero dengan cara menggabungkannya dengan persero lain yang berbeda karakter, akan berpotensi pula pada kerugian hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan. Sebab, kata Saldi, ketika penggabungan terjadi maka sangat mungkin terjadi pula penyeragaman standar layanan dan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pension, dan jaminan kematian bagi semua peserta.
“Dengan demikian, sekalipun pilihan melakukan transformasi dari PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga. Sehingga tetap mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara yang tergabung dalam PT TASPEN (Persero),” kata Saldi.
Baca juga: DPR: Pengalihan Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan Berpedoman pada Prinsip Kegotongroyongan
Prinsip Kegotogroyongan
Selanjutnya berkenaan dengan prinsip kegotongroyongan dalam konteks jaminan sosial, Saldi mengatakan, UU 24/2011 telah mendefinisikannya sebagai prinsip kebersamaan antarpeserta dengan menanggung beban biaya jaminan sosial melalui iuran yang dibayarkan sesuai tingkat gaji, upah, atau penghasilan. Kemudian, program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun PNS sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (UU 11/1969) dan dimuat pada Peraturan Pemerintah Nomor 20/2013 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi ASN.
Oleh karenanya, Saldi mengatakan bahwa pada kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon atas desain BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program dana pensiun dan program jaminan hari tua bagi seluruh lapisan masyarakat sebagai perwujudan prinsip kegotongroyongan tidaklah bisa dijadikan sebagai dasar pembenar. Sebab, meski BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sama-sama memungut iuran kepada pesertanya, namun tidak dapat dipandang sebagai konsep yang sama dengan iuran PNS.
“Untuk itulah, menurut Mahkamah, menjadi tidak adil jika pensiunan PNS yang selalu mengiur tiap bulan dengan harapan dapat menikmati tabungan yang sudah dikumpulkannya pada masa tuanya nanti harus berbagi kepada orang lain atas nama kegotongroyongan. Meskipun Mahkamah sangat mendukung prinsip kegotongroyongan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, namun dalam konteks program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun, tidak tepat jika prinsip kegotongroyongan semisal ini dilakukan terhadap PNS untuk masa tuanya,” tandas Saldi.
Baca juga: PT Taspen: Jaminan Pensiun sebagai Penghargaan Atas Pengabdian PNS
Kelembagaan Majemuk
Berikutnya berkaitan dengan pemenuhan prinsip gotong royong dengan penggabungan lembaga penyelenggaraan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan, Mahkamah memberikan arahan agar desain kelembagaan yang dipilih adalah kelembagaan majemuk dan bukan kelembagaan tunggal. Serta tidak pula menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan menjadi satu badan. Sebab transformasi desain yang demikian justru mengandung ketidakpastian, baik akibat ketidakkonsistenan pilihan desain kelembagaan yang diambil, maupun ketidakpastian atas nasib peserta yang ada di dalamnya.
“Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pengalihan PT TASPEN (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam pasal a quo bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum,” ungkap Saldi .
Untuk diketahui bahwa para Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut karena dinilai berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusionalitas para Pemohon yang berlatar belakang sebagai prajurit TNI. Para Pemohon menilai mereka memiliki risiko penugasan yang berkaitan langsung dengan kehilangan nyawa, cacat, tewas, atau hilang di daerah operasi. Selain itu, para Pmeohon juga memiliki risiko mobilitas yang tinggi saat masih aktif bertugas. Sehingga ketika pensiun, diharapkan program pembayaran pensiun dari PT Asabri yang terlah berjalan selama ini tidak teralihkan. Utamanya mengenai kerahasiaan jabatan dan data pribadi yang harus tetap terjaga. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina