JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang pengucapan Putusan Nomor 44/PUU-XIX/2021 ini digelar di MK pada Rabu (29/9/2021). Permohonan diajukan oleh Martondi (Pemohon I) dan Naloanda (Pemohon II) selaku Ketua Umum dan Bendahara LSM Rumah Rakyat (Rura), M. Gontar Lubis (Pemohon III) dan Muhammad Yasid (Pemohon IV) selaku perseorangan warga negara yang berprofesi sebagai karyawan swasta dan wiraswasta.
Dalam membacakan pertimbangan Mahkamah, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan para Pemohon dalam menguraikan alasan permohonan lebih banyak merujuk pada Putusan MK Nomor 102/PUU-VIII/2009 dibandingkan dengan menguraikan pertentangan dari Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 dengan UUD 1945. Sejatinya para Pemohon dapat mengutip putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu tersebut sepanjang relevan dengan substansi permohonannya.
“Namun demikian, para Pemohon tetap berkewajiban menjelaskan pertentangan norma yang diujikan tersebut dengan UUD 1945. Ketentuan ini telah diatur secara eksplisit pada Pasal 10 ayat (2) huruf b angka 3 PMK 2/2021,” ucap Saldi pada sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi para hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, pada bagian permohonan, para Pemohon mengakui secara jelas mengenai hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah hak partai politik. Namun para Pemohon justru mempersoalkan mekanisme penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden oleh partai politik sebagaimana ditentukan Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 tersebut. Sehingga ketidakjelasan alasan-alasan pengajuan permohonan berikut dengan petitumnya dapat dikatakan tidak jelas dan tidak lazim. Sebab, sambung Saldi, dalam Petitum para Pemohon tidak memperjelas hal yang dimintakan kepada Mahkamah untuk mencantumkan norma baru tanpa disertai klausul ”konstitusional bersyarat”.
“Sehingga secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah petitum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021. Menurut Mahkamah permohonan para Pemohon adalah kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan,” sebut Saldi.
***
Sebagaimana diketahui, para Pemohon sebagai warga negara merasa memiliki hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun hak konstitusi untuk dipilih hanya diperuntukkan bagi kelompok partai politik, sedangkan bagi rakyat yang bukan kelompok partai politik tidak terdapat norma yang mengaturnya. Akibatnya, para Pemohon berpotensi kehilangan peluang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, para Pemohon juga berpandangan bahwa hak konstitusional warga negara untuk dipilih menjadi presiden dan wakil presiden yang ada pada UU Pemilu tersebut, hanya memuat hak konstitusi dari sebagian rakyat yang tergabung dalam kelompok partai politik. Padahal, MK dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan Nomor 102/PUU-VII/2009 menyatakan setiap rakyat warga negara Indonesia mempunyai hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.