JAKARTA, HUMAS MKRI - Adanya holdingisasi antara BUMN dan anak perusahaan BUMN tidak berarti di antara keduanya menjadi terpisah-pisah dan saling bersaing dalam menjalankan kegiatan bisnis. Sekalipun sebagian saham pada anak perusahaan dialihkan kepada pihak swasta, sehingga saham pada BUMN induk berkurang, tetapi negara tetap dapat menggunakan hak kepemilikan saham atau golden share. Artinya, negara atau induk perusahaan BUMN tetap memiliki hak veto yang bertujuan mengamankan posisi negara dalam mengendalikan anak perusahaan BUMN sehingga tidak menyimpang dari tujuan usaha demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Demikian dikatakan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 61/PUU-XVIII/2020 perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik (UU BUMN). Sidang pengucapan putusan pengujian materi UU BUMN ini digelar di MK pada Rabu, (29/9/2021). Dalam amar putusan, Mahkamah menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Adapun yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang menyatakan, “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.”
Dalam Kuasa Negara
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya lebih lanjut berpendapat bahwa dalam hukum perseroan, privatisasi sebenarnya hal yang tidak dapat dihindarkan utamanya dalam lingkup kinerja perseroan guna peningkatan kinerja, nilai perusahaan, dan efisiensi. Kebijakan politik hukum pemerintah yang demikian, meskipun dapat menjadikan adanya saham swasta dalam anak perusahaan BUMN, namun anak perusahaan BUMN tersebut masih dalam penguasaan negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
“Tanpa bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana, prinsip tersebut telah diimplementasikan dalam ketentuan Pasal 2A ayat (2) dan ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yang pada pokoknya menyatakan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa dalam anak perusahaan BUMN dan anak perusahaan BUMN tersebut tetap diperlakukan sama dengan BUMN agar mendapatkan penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum,” sambung Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Privatisasi dan Status Karyawan
Berikutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan pertimbangan hukum Mahkamah berkaitan dengan kekhawatiran Pemohon tentang ketidakpastian hukum status karyawan dari perusahaan dan anak perusahaan BUMN yang melakukan privatisasi. Mahkamah menilai hal tersebut perlu menjadi sesuatu yang harus mendapat perhatian. Kendati salah satu tujuan dari privatisasi adalah untuk efisiensi, tetapi hal demikian sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan keresahan bagi karyawan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan privatisasi sejauh mungkin perlu diupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Apabila dalam penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN harus terjadi PHK, hal tersebut haruslah menjadi upaya terakhir dan harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu mengenai status karyawan BUMN, Pasal 87 ayat (1) UU 19/2003 telah menentukan karyawan BUMN adalah pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Demikian juga dengan status karyawan anak perusahaan BUMN yang diprivatisasi, sehingga seperti halnya karyawan BUMN keduanya sama-sama tunduk pada aturan yang ditentukan dalam UU 13/2003.
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, Mahkamah dalam Amar Putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman yang membacakan lembaran Putusan MK dari Ruang Sidang Pleno MK.
Kedudukan Hukum Pemohon
Sementara itu, terkait kedudukan hukum Pemohon dalam perkara ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda. Menurut Daniel, Pemohon yang merupakan organisasi berbentuk Federasi, menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero), termasuk di dalamnya anak perusahaan yang ketentuannya termuat pula dalam Anggaran Rumah Tangganya. Sehingga kekhawatiran Pemohon mengenai peluang dapat diprivatisasinya anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dalam perkara ini, kontradiksi dengan norma yang termuat pada Pasal 3 Anggaran Dasar FSPPB sehingga hal ini menunjukkan ketidakjelasan kerugian konstitusional Pemohon dalam perkara a quo.
Selain itu, sambung Daniel, kekhawatiran Pemohon atas anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang tidak dikontrol dengan baik oleh negara merupakan suatu anggapan berlebihan karena Pemohon telah mengambil alih tanggung jawab direksi. Sebagaimana Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 yang menyebutkan secara jelas kedudukan dan wewenang dari direksi.
“Dengan demikian, selama direksi perseroan menjalankan tugas dengan prinsip duty of care, duty of loyalty, dan taat asas pada prinsip Good Corporate Governance sehingga perusahaan maju dan kesejahteraan karyawan meningkat, maka kekhawatiran Pemohon menjadi tidak beralasan,” sebut Daniel terhadap dalil Pemohon atas Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dinilai bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.